Polemik Wacana Program Pendidikan Militer pada Pendidikan Tinggi

Konten Kiriman : Indra Fredika, SH.*

Belakangan ini dunia pendidikan kembali mendapat kritikan publik, hal tersebut dipicu adanya wacana pendidikan militer secara sukerela di lingkup pendidikan tinggi yang disampaikan oleh Sakti Wahyu Trenggono (Wamenhan).

Dalam konferensi pers pada tanggal 16 Agustus 2020, Wamenhan menyatakan bahwa:

“Nanti, dalam satu semester mereka bisa ikut pendidikan militer, nilainya dimasukkan ke dalam SKS yang diambil. Ini salah satu yang sedang kita diskusikan dengan Kemendikbud untuk dijalankan. Semua ini agar kita memiliki milenial yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-harinya.”

Berdasarkan penjelasan diatas, ihwal adanya program tersebut yaitu, Indonesia telah memasuki era bonus demografi yang akan didominasi oleh generasi milenial pada tahun 2025-2030. Sehingga harapannya dengan program tersebut, generasi milenial mempunyai wawasan mendalam tentang kebangsaan, bela negara, hingga pengalaman nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam kesehariannya.

Melihat pernyataan Wamenhan, program bagi mahasiswa yang dimaksud menurut asumsi penulis mengarah pada Pendidikan Bela Negara atau bisa juga mengarah pada Komponen Cadangan (Komcad) dan bukan sebuah program Wajib Militer seperti apa yang ramai diperbincangkan publik.

Komcad sendiri adalah Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama secara sukarela bagi mereka yang ingin, asalkan mempunyai label WNI serta berusia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun.

Hal tersebut dinilai sah apabila Wamenhan mengikutsertakan mahasiswa yang ingin menjadi Komcad secara sukarela, karena secara legal formal memang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Akan tetapi, lain halnya apabila Wamehan membuat program pendidikan bela negara secara sukarela dalam satu semester, hal tersebut cenderung berlebihan dan perlu kajian yang matang.

Baca Juga  Inovasi Kuliner Ditengah Pandemi, Beejay Seafood Tebar Reseller

Terutama pijakan landasannya hanya berdasarkan pada perkembangan modernisasi yakni era bonus demografi dan merdeka belajar.

Negara memandang mahasiswa perlu mempunyai wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air, hingga dinilai perlu adanya program pendidikan bela negara selama satu semester.

Padahal, selama ini dalam lingkup pendidikan tinggi telah ada mata kuliah terkait kebangsaan yakni Pendidikan kewarganegaraan dan pancasila.

Hanya saja mahasiswa selalu diberikan pemahamanan nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan dan pancasila secara tekstual dan hafalan saja, dengan kata lain pemahaman tersebut tidak diimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sehingga langkah solutif yang perlu dilakukan negara melalui pemerintah adalah mengevaluasi kekurangan dari 2 mata kuliah yang sudah ada tersebut.

Selain itu, soal pendidikan bela negara secara sukarela sebenarnya dalam lingkup pendidikan tinggi sudah ada organisasi mahasiswa yang ber-orientasi bela negara, yakni Resimen Mahasiswa (Menwa).

Hanya saja organisasi tersebut kurang eksis hingga kemudian minim peminat jika dibandingkan dengan organisasi lain semacam BEM. Inilah sebenarnya yang perlu dievaluasi oleh pemerintah, bukan menciptakan problem baru dengan membuat program pendidikan bela negara selama satu semester.

Langkah selanjutnya adalah pemerintah melalui lembaga Pendidikan Tinggi dan Kementrian Pertahanan dapat membuat kegiatan yang ber-orientasi bela negara dan kebangsaan, seperti halnya yang pernah diikuti oleh Penulis yakni Sosialisai 4 Pilar, Seminar Wawasan Kebangsaan, Kegiatan Pelayaran Kebangsaan KRI Dewa Ruci, Pengikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan Dispotmar TNI AL dan yang terakhir penulis pernah dua kali keluar masuk Kodiklatal untuk mengikuti program kampus.

Oleh karenanya, tidaklah tepat apabila memasukkan pendidikan bela negara dalam satu semester sebagai solusi perihal bonus demografi. Terutama mengingat kondisi negara yang sedang megalami resesi ekonomi akibat Covid-19.

Baca Juga  Sudah Zamannya Buku dan Pena Menjadi Gadget

Untuk itu Pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas Sumber Daya Mahasiswa, misalnya dengan mengembangkan program PMMB-FHCI yang sudah berjalan, peningkatan kualitas riset, meningkatkan pelatihan ekonomi mandiri melalui UMKM dan Kewirausahaan.

Serta membuat pelatihan kompetensi keahlian yang bersertifikat BNSP (bukan sekedar sertifikat yang dikeluarkan oleh kampus saja).

Terakhir, mahasiswa merupakan agen of change, iron stock dan social control bagipemerintah agar tak melakukan abuse of power. Maka masih ada hal yang lebih urgen ketimbang pendidikan bela negara satu semester bagi mahasiswa yaitu jaminan keberlangsungan pendidikan, penguatan nalar berpikir kritis dan logic, pengabdian masyarakat serta kebebasan berpikir dan berpendapat yang sejalan dengan slogan merdeka belajar.

*Paralegal LBH, Kader HMI Cabang Surabaya sekaligus Founder Yuris Milenial.

Baca Juga

Perebutan Suara Milenial dan Pergeseran Media Kampanye

Oleh: Etik Mahmudatul Himma, SH “Generasi Milenial dan Gen Z, jumlahnya lebih dari 113 juta pemilih …