‘Rambut Nenek’, Jajanan Ringan yang Tergerus Zaman

MAYANGAN-PANTURA7.com, Arbanat, salah jajanan khas dari Malang yang biasa dinikmati di waktu senggang oleh anak-anak termasuk di Probolinggo.Tetapi seiring perkembangan zaman, sebagian besar anak sudah tidak kenal lagi dengan jajanan berasa manis itu.

Keberadaan “rambut nenek”, nama lain arbanat, sudah kalah popular dibandingkan es krim atau pop corn. Disebut “rambut nenek” mungkin karena wujudnya mirip rambut nenek yang memutih alias berwarna mencolok. Hanya saja arbanat berwarna merah menyala untuk menarik minat anak-anak agar mencicipinya.

Penjual arbanat, Kusnadi (60) mengatakan, jajanannya terbuat dari gula pasir ditambah pewarna merah. Cara pembuatannya, gula pasir dan air dicampur di sebuah wajan kemudian dipanaskan dan diaduk-aduk.

Pengadukan membutuhkan waktu sekitar dua jam. “Setelah itu lelehan gula panas ditarik-tarik sehingga berbentuk seperti rambut,” ujar Kusnadi, Selasa (21/7/2020).

Penikmat jajanan arbanat,Ruhaidah (45) mengatakan, jajanan ini banyak dijajakan penjual yang lumayan tua. Ia mengaku, belum pernah melihat penjual makanan ini dari generasi muda atau berusia dibawah 40 tahun.

Penjual arbanat berkeliling kampung dengan membawa semacam biola (rebab) yang digesek. “Ngak, ngik, ngok, ngak, ngik, ngok,” demikian bunyinya. Tentu saja bungi melengking itu untuk menarik perhatian anak-anak.

“Penjual arbanat biasanya membawa dua buah kaleng kerupuk. Satu kaleng berisikan arbanat yang dijual, sedangkan kaleng satunya berisi uang hasil penjualan,” kata Ruhaidah.

Pembeli biasanya menerima arbanat yang dibungkus dengan kotak yang terbuat dari kertas bekas dari buku tulis atau koran bekas.

Dulu, membeli arbanat bisa dengan mata uang receh atau bisa juga dengan barter dengan kaleng atau botol bekas. Penjual arbanat hapal nilai barter barang bekas degan takaran arbanat sebagai penukarnya.

Baca Juga  Polres Probolinggo Kota Selidiki Kebakaran, Tiga Pemilik Ruko Diperiksa

“Kini, sangat sulit ditemui penjual arbanat yang berjalan dari kampung ke kampung. Dengan fisik yang tidak lagi muda, sang penjual tak kuasa berjalan jauh seperti sebelumnya,” ujar Rini, pembeli arbanat.

Generasi muda sekarang diduga enggan berjualan arbanat karena arbanat dianggap jajanan anak-anak “tempo doeloe”. Saat ini, penjual arbanat masih ditemui di kampung dan sekolah-sekolah dasar.

“Kadang penjual tidak membunyikan rebab lagi karena dianggap menganggu kegiatan belajar mengajar,” ujar Rini. (*)


Editor: Ikhsan Mahmudi

Publisher: Rizal Wahyudi


Baca Juga

H+5 Arus Balik, 55 Ribu Penumpang Berangkat dari Stasiun di Daop 9 Jember

Probolinggo,- Hingga H+5 atau lima hari arus balik, KAI Daop 9 Jember telah memberangkatkan total …