Lagi, MUI-Ormas Islam Desak RUU HIP Dibatalkan

KEDOPOK-PANTURA7.com, Meski kontroversi (tarik-menarik) terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) sudah mereda, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam di Kota Probolinggo terus mendesak, RUU itu harus dicabut. Kegiatan MUI bertajuk “Diskusi Publik: RUU HIP Ditolak, Kenapa?” di kantor PCNU Kota Probolinggo, Rabu malam (22/7/2020) juga mengangkat kembali pernyataan sikap terbuka MUI kabupaten kabupaten/kota se-Jatim sekitar sebulan lalu.

“Tidak ada kata terlambat, sebenarnya 38 MUI kabupaten/kota se-Jawa Timur sudah menyatakan menolak RUU HIP pada 19 Juni 2020 lalu. Melalui diskusi publik ini kita segarkan kembali ingatan kita, mengapa RUU HIP harus ditolak,” kata Ketua Umum MUI Kota Probolinggo, KH Nizar Irsyad mengawali diskusi.

Diskusi diikuti sekitar 25 orang yang terdiri atas pengurus ormas-ormas Islam. Hadir juga sejumlah aktivis organisasi ekstra kampus seperti, HMI, PMII, dan IMM.

“Ada enam poin yang disuarakan MUI kabupaten/kota se-Jatim, intinya RUU HIP harus dicabut karena tidak diperlukan. Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila,” kata KH Nizar.

Karena itu kiai penggemar berat kopi itu mendesak, RUU HIP harus dicabut, tidak sekadar ditunda atau diganti namanya tetapi esensinya sama. “Presiden harus tegas menolak RUU HIP,” ujarnya.

Dua narasumber dari internal (pengurus) MUI Kota Probolinggo, Tirmidzi Husin dan Ilyas Rolis kemudian mengajak peserta diskusi yang duduk lesehan di aula PCNU itu mengupas tuntas RUU HIP. Yik Tir, panggilan akrab Tirmidzi Husin memantik diskusi, dengan mengungkapkan keresahannya seputar RUU kontroversial itu.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI itu mempertanyakan, mengapa pemerintah justru sering membuat kegaduhan di negeri ini. “Contohnya, Menteri Agama yang baru dilantik, membuat peraturan yang bertujuan mengawasi majelis taklim. Sekarang, RUU HIP juga bikin gaduh,” katanya.

Baca Juga  Golput Pemilu 2024 Haram, ini Pesan MUI Kota Probolinggo

Menurut Yik Tir, Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945 sudah final. “Mengapa mau diatur-atur dalam undang-undang, ini kurang pekerjaan dan bikin keributan saja,” kata dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Probolinggo itu.

Sementara itu narasumber lainnya, Ilyas Rolis membeberkan fakta sejarah, ideologi-idiologi di berbagai negara berkembang sering berbenturan. “Benturan idiologi misalnya terjadi di Iran, kelompok sekular versus agama yakni, Shah Iran versus mullah. Demikian juga di Pakistan, ada benturan idiologi,” kata Ketua Komisi Pengkajian dan Riset MUI itu.

Di Indonesia, kata Cak Ilyas, panggilan akrabnya, persaingan idiologi juga mewarnai lahirnya Pancasila. Ada kelompok nasionalis bersaing dengan kelompok agama.

“Pancasila merupakan wujud kompromi berbagai kelompok. Jadi kurang tepat kalau Pancasila diklaim milik kelompok tertentu,” ujar dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya itu.

Dalam terminologi agama, kata mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu, Pancasila merupakan kalimatun sawa’, titik temu keberagaman, konsensus bersama.

Hal senada diungkapkan Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), Masfu’, peserta diskusi. “Bagi Muhammadiyah, NKRI yang berdasarkan Pancasila ini merupakan darul ahdi was syahadah. Hal ini diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 lalu di Makassar,” katanya.

Darul ahdi, kata Masfu’, artinya negara tempat kita melakukan konsensus nasional. Sedangkan, darus syahadah artinya negara tempat kita mengisi. (*)


Editor: Ikhsan Mahmudi

Publisher: Rizal Wahyudi


Baca Juga

Arus Balik, Penumpang KA di Stasiun Bangil Melonjak 40 Persen

Pasuruan,- H+4 Lebaran, Stasiun Bangil di Kabupaten Pasuruan dipadati penumpang yang melakukan perjalanan mudik balik. …