PROBOLINGGO-PANTURA7.com Jika sebagian besar kaum muslimin pada umumnya ber-Idul Fitri pada Rabu (5/6) kemarin, lain halnya dengan Jemaah Aboge (Tahun Alif Rebo Wage) di Kabupaten Probolinggo. Ratusan Jemaah Aboge baru menggelar shalat Idul Fitri, Kamis pagi tadi (6/6/).
Ratusan Jemaah Aboge tersebar di beberapa desa di Kabupaten Probolinggo. Di antaranya, di Kecamatan Leces, Kuripan, Dringu , Bantaran dan Kecamatan Tegalsiwalan.
Salah satu jemaah, Suharianto mengatakan, ia bersama jemaah yang lain sudah biasa berbeda dengan pemerintah dan mayoritas kaum muslimin. Hal ini karena mereka memang memiliki hitungan (hisab, kalender) tersendiri yang menjadi acuan penetapan 1 Syawal.
“Sudah biasa kami berbeda. Tapi memang sudah lama sehingga kita dengan warga yang lain sama-sama memahami dan alhamdulillah hidup rukun,” ucapnya, Kamis (6/6) di Mushalla Al Barokah, Leces tempat ia shalat.
Sesepuh Jemaah Aboge di Leces, Ustadz Buri Mariyah mengatakan, 1 Syawal versi Aboge memang selisih (terlambat) sehari dengan yang ditentukan pemerintah. Alasannya, Jemaah Aboge mengacu pada perhitungan Kitab Mujarobat yang mereka ikuti turun-temurun.
“Pada Idul Fitri kali ini, Jemaah Aboge menentukan jatuh pada Kamis Pahing (6/6) sesuai kalender dan Kitab Mujarobat. Di mana model perhitungannya Wal-Ji-Ro, atau hari ke-1 Syawal dan pasaran (neptu) ke-2,” kata Ustad Maritah kepada awak media.
Ustad Mariyah menambahkan, tahun ini (1952) 1 Suro (1 Muharam) jatuh pada Bakmisgi (tahun bak kemis legi). Patokan Bakmisgi inilah yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan awal bulan puasa hingga hari raya.
Usai salat Idul Fitri seperti biasanya, ada tradisi unik yang dilakukan Jemaah Aboge. Mereka makan bersama (tasyakuran) yang diikuti jemaah laki-laki dan perempuan di mushala di depan rumah Ustad Mariyah. (*)
Penulis: Rahmad Soleh
Editor: Ikhsan Mahmudi