Foto : Penulis muda, Mujibur Rahman. (maf)

Islam dan Hakikat Kepemimpinan

Islam dan Hakikat Kepemimpinan

*Oleh Mujibur Rahman

 

Setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Maka jadilah pemimpin yang baik. “Mulailah dari dirimu sendiri,” tegas Rasulullah Saw dalam salah satu hadisnya.

Ketika seseorang mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, maka ia akan dianugerahi kesanggupan untuk memimpin keluarganya, masyarakatnya, bahkan dalam skala yang lebih luas, ia akan mampu memimpin bangsa dan negaranya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, Malik bin Dinar pernah menceritakan tentang kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Suatu hari, sang khalifah menemui istrinya. Dia hendak meminjam kepada istrinya uang satu dinar untuk membeli buah anggur. Tapi waktu itu, istrinya tidak memiliki apa-apa.

Kepada Umar bin Abdul Aziz, istrinya berkata, “Engkau ini seorang khalifah, apakah di dalam kas perbendaharaan tidak ada uang?”

Khalifah menjawab, “Lebih baik saya tidak memakan buah anggur daripada saya harus mengambil uang dari kas negara. Sungguh saya sangat takut atas siksa di Hari Akhirat kelak”.

Apa yang dapat kita petik dari kisah tersebut? Jawabnya tak lain adalah pentingnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Umar bin Abdul Aziz, sebagaimana kisah tersebut, merupakan sosok pemimpin yang zuhud, adil dan dicintai rakyatnya.

Sang khalifah tidak pernah menyalahgunakan kas-kas negara untuk kepentingan dirinya maupun keluarganya. Ia sangat hati-hati, selalu meminta pertolongan kepada Allah agar kepemimpinanannya membawa berkah terhadap kehidupan rakyat.

Tidak berbeda jauh dengan kisah di atas, suatu ketika sekelompok sahabat senior seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Thalhah berkumpul untuk membahas masalah gaji khalifah Umar bin Khattab. Mereka mendiskusikan dan memutuskan akan menaikkan gaji khalifah Umar.

Akan tetapi, tak seorang pun (termasuk sahabat senior itu) yang berani menyampaikan usulan itu kepada khalifah Umar. Akhirnya, mereka, para sahabat itu, pergi menemui Hafsah, putri khalifah Umar. Mereka minta tolong kepada Hafshah untuk meminta persetujuan khalifah Umar atas usulan kenaikan gaji yang sudah diputuskan sebelumnya itu.

Baca Juga  Wow.. Merah Putih Berkibar di Jabal Rahmah

Kemudian Hafshah pergi menemui khalifah Umar untuk menyampaikan usulan yang telah disepakati. Namun apa yang terjadi? Khalifah Umar bin Khattab tidak menyetujuinya. Bahkan Hafshah dimarahi.

Sikap khalifah Umar tersebut mencerminkan sebagai figur yang patut diteladani oleh siapa pun. Umar betul-betul paham bahwa jabatan bukanlah tempat untuk bersenang-senang, menikmati gaji yang berlimpah-ruah.

Tetapi ia adalah amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Umar sadar betul bahwa jabatan atau kekuasaan sesungguhnya adalah jalan pengabdian kepada Allah. Jika Umar tidak memaknainya seperti itu, tidak mungkin ia menolak kenaikan gaji yang sudah disepakati.

 

Sifat Malu

Dengan demikian, menjadi seorang pemimpin harus mampu menghiasi dirinya dengan sifat malu. Sifat  ini merupakan salah satu sifat yang melekat dalam diri Rasulullah dan para sahabat. “Malu itu termasuk keimanan dan keimanan membawa ke surga. Sedangkan perbuatan keji termasuk kejelekan dan kejelekan tempatnya di neraka,” tegas Rasulullah dan hadis riwayat Tirmidzi.

Sifat malu merupakan akhlak terpuji. Bahkan, kualitas keimanan seseorang kepada Allah Swt salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana ia memiliki sifat malu. Di sinilah pentingnya kita memahami filosofi malu. Tentu saja malu dalam konteks ini ialah malu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Filosofi malu kini nyaris tidak dipahami dan bahkan tidak diinternalisasikan dalam diri kita masing-masing. Dalam kehidupan kita saat ini, sifat malu kepada Allah nyaris terkikis. Banyak manusia, terutama para pemimpin, yang tidak lagi menjadikan sifat ini sebagai perangai indah. Justru yang terjadi sebaliknya, kebanyakan orang merasa mulia di tengah perbuatannya yang hina.

Sungguh merupakan pemandangan yang jauh dari nilai-nilai kebaikan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Hidup di zaman akhir seperti saat ini, memiliki sifat malu kepada Allah merupakan perjuangan yang sungguh hebat. Dikatakan demikian karena begitu banyaknya penyelewengan-penyelewengan yang dibanggakan. Tidak ada sedikitpun rasa malu kepada Allah. Bahkan, dengan bangganya perilaku-perilaku keji diumbar dan dipublikasikan.

Baca Juga  Ratusan CJH Kab. Probolinggo Tunggak BIPIH, Pelunasan Diperpanjang

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah berkata, “Antara dosa dan sedikitnya rasa malu ada keterikatan yang sangat erat, maka setiap dari keduanya akan menuntut yang lain. Barang siapa malu kepada Allah ketika berbuat maksiat, Allah pun malu menyiksanya pada hari kiamat kelak. Dan barang siapa tidak punya rasa malu kepada Allah ketika berbuat maksiat, maka Allah tidak akan malu menyiksanya kelak”.

Malu merupakan sifat yang sangat mulia. Islam sangat menganjurkan agar kita menjaga rasa malu itu dan menjadikannya sebagai penghias hidup. Orang yang tidak mempunyai rasa malu, bisa dipastikan dalam hidupnya penuh dengan penyelewengan dan kekejian. Misalnya, seorang pejabat negara yang korup sebenarnya lebih disebabkan tidak adanya sifat malu. Mereka tidak malu bahwa jabatan bukanlah tempat untuk bersenang-senang atau menumpuk kekayaan, tetapi sebagai titipan atau amanah dari Allah untuk mensejahterakan kehidupan rakyat.

Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, penulis kitab al-Futuhat al-Makkiyah, juga pernah mengingatkan, “Hendaklah engkau merasa malu, karena Allah maha pemalu. Rasa malu adalah bagian dari iman. Rasa malu merupakan satu sifat yang manfaatnya akan dirasakan oleh orang yang melaksanakannya dalam segenap keadaannya. Secara keseluruhan rasa malu itu baik. Apabila seorang hamba memiliki sifat malu kepada Allah, maka berarti ia telah meninggalkan segala sesuatu yang tidak diridloi Allah dan segala sesuatu yang akan menjadikannya buruk di sisi Allah dan Rasulullah.”

 

Miskin Keteladanan

Sangat sedikit sosok yang memberikan keteladanan tentang pentingnya rasa malu dan sifat-sifat mulia lainnya dipelihara. Kita benar-benar hidup di suatu masa di mana keteladanan sangat sulit ditemukan. Sehingga, negeri ini terombang ambing oleh ketidakjelasan. Kekayaan negara dikuras habis untuk kepentingan pribadi. Hukum seakan-akan sudah tidak bisa lagi berbicara. Kenapa yang terjadi demikian?

Baca Juga  ‘Santri’ Layani Pelayanan SIM di Satpas Polres Probolinggo

“Selama ini di negerimu

kebenaran ditaklukkan

oleh rasa takut dan ambisi

keadilan ditundukkan

oleh kekuasaan dan kepentingan

nurani dilumpuhkan

oleh nafsu dan angkara

(KH. A. Mustofa Bisri, “Selama Ini di Negerimu”, 1998).

Kepemimpinan yang tidak didasari sifat malu, yang di dalamnya meniscayakan tanggung jawab, maka yang akan muncul adalah penyelewengan dan ketidakadilan.

Maka, tidak salah jika Gus Mus – sapaan akrab KH. A. Mustofa Bisri – menulis bait-bait puisi yang bernada kritik sosial-politik. “Keadilan ditundukkan oleh kekuasaan dan kepentingan,” kata Gus Mus.

Itulah yang harus dijadikan refleksi oleh siapa pun yang diamanahi Allah menjadi pemimpin. Sehingga kepemimpinan benar-benar membawa keberkahan bagi kehidupan rakyat secara keseluruhan. (*)

 

*Mujibur Rahman, santri, alumnus Pendidikan Agama Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

– Alamat: Perum Polri Gowok, Sleman, Yogyakarta 55198.

No. HP. 082140728535

No. Rekening 651601011840537 BRI a/n Mujibur Rahman.

Baca Juga

Mimpi itu Kini Nyata! Penjual Sandal Keliling di Pasuruan Akhirnya Berangkat Haji

Pasuruan,- Bagi Yahya (48), warga Kelurahan Karangketug, Kecamatan Gadingrejo, Kota Pasuruan, tahun 2024 ini menjadi …