Politik Uang Menandakan Relasi Politik Yang Mentah

PROBOLINGGO-PANTURA7.com, Praktik politik uang terjadi biasanya pada kondisi pasar politik yang penuh ketidak jelasan dengan relasi politik yang masih mentah antara partai politik dengan masyarakat calon pemilih.

Terhadap temuan dugaan politik uang yang dilakukan oleh caleg partai di Kota Probolinggo (PANTURA7.com, 13/4/2019), saya lebih tertarik membahasnya pada sisi motivasional dan situasi politik mikro yang melingkupi praktik politik uang.

Saya tak hendak membahas pada tataran penindakan, karena itu sudah jelas regulasinya sebagai dasar penindakan oleh Bawaslu dan KPU. Semua orang pasti sepakat bahwa politik uang merusak demokrasi dalam jangka panjang.

Tetapi mengapa praktik itu masih ada hingga kini? Penelitian Aspinall dari Australian National University menunjukkan bahwa pengalaman pemilu pada tingkat akar rumput, praktik politik uang dalam aneka bentuknya paling massif terjadi pada pemilu 2014, karena pengaruh patronase dan klientelisme.

Patronase adalah ‘pembagian keuntungan diantara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, pekerja atau pegiat kampanye dalam rangka mendapatkan dukungan politik.

Dengan demikian patronase berupa uang tunai atau barang atau keuntungan lain, yang didistribusikan kepada pemilih dengan menggunakan dana pribadi atau dana public.

Sedangkan klientelisme adalah karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung, yang merupakan relasi tatap muka bernuansa timbal balik sebagai respons terhadap pemberian.

Klientelisme juga bernuansa hirarkis yakni relasi kekuasaan yang tidak berimbang antara patron (politisi) dan klien (pemilih). Relasi pertukaran klintelistik ini terjadi secara berulang maupun secara tunggal.

Relasi berulang terjadi ketika politisi melakukan pendekatan kepada pemilih secara berulang, sedangkan pada relasi tunggal politisi melakukan “beli suara” sekali memberi dan tidak kembali lagi atau “beli putus”.

Wawan E. Kuswandoro, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya (Foto : Ikhsan Mahmudi)

Nah, mengapa praktik ini mesti terjadi pada relasi politik antara politisi dan pemilih atau pendukungnya? Tidak bisakah relasi politik ini terjadi secara pemahaman akan program partai demi kepentingan masyarakat pemilih? Dengan kata lain, secara “visi”, bukan secara “pisi”.

Baca Juga  Evi Kumalasari; Bulan Ramadhan, Ajang Untuk Mempererat Silaturrahim

Kita pilahkan dulu antara keterlibatan uang untuk biaya politik dengan menggunakan uang untuk ditukar dengan dukungan atau suara. Biaya politik berbeda dengan politik uang.

Pemberian uang atau barang atau keuntungan lain oleh politisi kepada pemilih untuk ditukar dengan suara, itulah politik uang (money politics).

Pemberian uang kepada pemilih ini dalam dua pemilu sebelumnya hingga kini telah mengalami pergeseran makna. Telah terjadi sikap permisif di masyarakat terhadap pemberian uang atau barang ini, yang kini telah menjadi semacam “adab dalam kunjungan politik”.

Yakni, bahwa tamu, apalagi tamu politik, membawa “oleh-oleh” kepada tuan rumah adalah sesuatu yang dianggap lumrah, bahkan “sopan”. Ucapan di masyarakat, “kalau caleg ke sini ndak bawa uang ndak akan direken mas” menunjukkan sikap permisif tadi.

Secara semiotic, ucapan itu bermakna “prasyarat kunjungan”. Artinya, belum ada jaminan bahwa uang yang diterimanya bakal pasti ditukar dengan suara. Ada variable lain yang harus ada jika ingin mendapatkan dukungan suara secara konkret.

Bisa jadi, “variable lain” itu adalah nominal yang berbeda, kedekatan emosional dan kesamaan-kesamaan emosional. Fenomena “pasar politik” tentu menyulitkan caleg. Hasrat ingin “terpilih sekarang” tentu akan menggiring pikiran caleg untuk menyesuaikan dengan pasar politik ini.

Pergeseran makna “uang yang diterima”, merupakan tanda bahwa system pengetahuan masyarakat kita telah mengalami kemajuan. Saya memprediksi pergeseran ini akan membawa kepada pemahaman baru di masyarakat, bahwa ‘uang tidak berarti apa-apa dalam pemilihan’.

Peluang inilah yang amat baik dimanfaatkan oleh partai politik untuk merebut hati calon pemilih. Yakni dengan melakukan pendidikan politik yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, sebagai investasi politik. Tentu saja, pendidikan politik ala partai politik berbeda dengan pendidikan politik ala non-partai.

Baca Juga  Pentingnya Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Menurut UUD 1945

Pendidikan politik ala partai politik adalah pendidikan politik electoral partisan. Tidak masalah sepanjang tidak bicara pertukaran materi secara instant dengan dukungan politik. Ini untuk menggeser pemikiran masyarakat dan membentuk system pengetahuan baru.

Di titik inilah politik uang menjadi tak berguna dan diabaikan. Tentu, ada syarat dan ketentuan berlaku, yakni relasi partai politik dan masyarakat (konstituen) telah mencapai derajat kematangan dan kesetaraan, yang ditandai oleh system pengetahuan masing-masing pihak. Perlu waktu memang, juga perlu regulasi politik yang mendukung.

Kondisi sekarang, relasi politik yang terjalin masih mentah, yakni belum ada intensitas positif yang berhasil membentuk pengetahuan masyarakat dalam keselarasan pemaknaan politik sebagai kebutuhan akan kemaslahatan bersama.

Sistem pengetahuan mengenai politik yang hidup di masyarakat memiliki kesenjangan dengan yang hidup di tubuh partai politik. Sistem pengetahuan ini dipengaruhi oleh dunia-hidup masing-masing.

Dunia-hidup masyarakat adalah dunia social-ekonomi, belum akrab benar dengan dunia politik-pemerintahan. Politik-pemerintahan dianggap sebagai “urusan orang partai mencari nafkah”, sehingga timbul tuntutan “profit-sharing” bernuansa ekonomi.

Sedangkan dunia-hidup partai politik adalah merebut kekuasaan untuk menguasai pemerintahan yang ujungnya untukkebaikan bersama masyarakat. Dan, dalam proses menuju pencapaiankebaikan bersama masyarakat inilah partai politik mengalami kecelakaan berkelanjutan, sehingga yang tertangkap oleh masyarakat adalah hanya berhenti pada perebutan kekuasaan saja.

Dan itu, dalam pandangan masyarakat, bernuansa ekonomi. Kondisi ini tidak setara. Sistem pengetahuan yang hidup di masing-masingnya, juga tidak setara.

Praktik politik uang akan terhenti ketika relasi partai politik dan masyarakat telah mencapai derajat kematangan dan kesetaraan, yang ditandai dengan pemahaman yang selaras dalam memaknai politik.

Kapan itu? Untuk menjawabnya, kita sambung dulu dengan tulisan berikutnya ya, tentang dilemma partai politik: pendidikan politik sebagai investasi politik atau electoral pragmatic.

Baca Juga  Serunya Ngabuburit Berburu Kerang di Pantai Randutatah

Tulisan ini untuk mengurai pelan-pelan jalan panjang menuju relasi politik yang bernuansa kematangan dan kesetaraan antara partai politik dan masyarakat. Ketika masyarakat lebih tertarik pada ‘visi’ ketimbang “pisi”. Insya Allah.***

 

* Penulis adalah Wawan E. Kuswandoro, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya. Juga Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Baca Juga

Perebutan Suara Milenial dan Pergeseran Media Kampanye

Oleh: Etik Mahmudatul Himma, SH “Generasi Milenial dan Gen Z, jumlahnya lebih dari 113 juta pemilih …