Menu

Mode Gelap
Toyota Avanza Warga Alassumur Kulon Probolinggo Terbakar, Kerugian Ratusan Juta Kakak-beradik Atlet Balap Motor asal Kota Probolinggo Sabet 2 Medali Porprov Jatim 2025 Diduga Ayan Kambuh Saat Berkendara, Pemotor di Pasuruan Tewas Tabrak Rumah Survei The Republic Institute, Tingkat Kepuasan Terhadap Bupati dan Wakil Bupati Jember Capai 82,8 Persen Tersangka Pembunuhan Wanita di Pasuruan Ngaku Kenal Korban Sejak 4 Tahun Lalu Jelang Terima SK PPPK, Guru di Lumajang Meninggal Dunia

Ekonomi · 19 Jan 2023 17:59 WIB

Mengenal Mbah Saruti, Penjual Kembang ‘Nyekar’ yang tak Lekang oleh Zaman


					GIGIH: Mbah Saruti saat menjual kembang nyekar di pinggir jalan Rogoturunan, Lumajang. (foto: Asmadi) Perbesar

GIGIH: Mbah Saruti saat menjual kembang nyekar di pinggir jalan Rogoturunan, Lumajang. (foto: Asmadi)

Lumajang,- Mbah Saruti terlihat duduk santai ketika sejumlah awak media mengunjungi stan miliknya di kawasan jalan Rogoturunan, Kecamatan/Kabupaten Lumajang, Kamis (19/1/2023) pagi.

Sambil duduk santai sembari menunggu para pembeli, Mbah Saruti sesekali menawarkan bunga jualannya, meski dengan suara yang tidak lantang.

“Sejak pukul 06.00 WIB tadi, saya sudah buka disini. Nanti sekitar jam 12.00 WIB, bunga ini harus habis. Sebab, diwaktu siang harus istirahat. Sudah tua nggak bisa kayak dulu lagi, sekarang capek sedikit ya harus istirahat,” kata Mbah Saruti sambil tersenyum.

Mbah Saruti bercerita, pekerjaannya sebagai penjual kembang kirim sudah dilakoninya sejak zaman penjajahan Belanda.

Awalnya, Mbah Saruti yang baru bercerai dengan suaminya, harus mencari uang sendiri. Ia kemudian ikut membantu kerabatnya kerja di sawah. Saat pulang, dia menyempatkan waktu pulangnya untuk mencari bunga.

Kemudian, ia memotong pandan dan memisahkan bunga yang sudah dikumpulkan. Aneka bunga tersebut seperti bunga kenanga, melati, mawar, pacar banyu, kembang wongso dan jenis kembang lainnya, biasanya digunakan untuk ‘nyekar’ di kuburan.

“Kemudian ada yang beli katanya buat nyekar ke makam ibunya atau keluarganya. Saya layani satu bungkus, dua bungkus dan sampai sekarang saya sudah pindah rumah tetap saja jualan kembang, kembang yang digunakan untuk nyekar,” jelasnya.

Mbah Saruti sendiri mengaku tidak ingat kapan ia dilahirkan. Namun dia mengaku sudah berjualan kembang nyekar sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang.

“Saat saya sudah jualan kembang nyekar, saya pakai baju dari bahan karung goni. Itu zaman Jepang. Kalau Zaman Belanda, saya ingat, sebab bapak saya dibawa pergi sama orang suruhan Belanda,” jelas perempuan yang masih terlihat gesit ini

Pada masa itu, kembang kirim yang dia jual dihargai satu sen. Harga itu sudah dianggap sangat mahal bagi Mbah Suruti. Sekarang, satu plastik kecil kembang nyekar dihargai Rp10 ribu.

Biasanya pelanggan membeli pada saat malam Jumat legi untuk nyekar di makam leluhur pada Kamis sore atau Jumat pagi.

“Kalau pas malam Jumat legi biasanya saya dapat Rp115 ribu. Kalau malam Jumat biasanya Rp50 ribu, iangnya saya tabung kadang buat cucu-cucu keponakan,” ungkap dia.

Kembang-kembang itu diiris-iris sendiri oleh Mbah Saruti, termasuk memanen bunga-bunga untuk malam Jumat legi. Hal itu dilakukan karena dia tidak ingin uangnya berkurang hanya untuk membayar orang lain yang membantunya.

“Daripada bayar orang buat bantu mending saya kerjakan sedikit-sedikit,” papar Mbah Saruti

Dari pernikahannya yang gagal, Mbah Saruti tidak memiliki keturunan. Rumah warisan orangtuanya pun juga telah dijual.

Di hari-hari biasa, jika ada yang membeli kembang, Mbah Saruti mewajibkan para pembeli untuk memesannya terlebih dahulu.

Tujuannya, agar para pelanggannya yang biasa pesan jauh-jauh hari tidak kehabisan kembang. Saat musim kemarau atau musim hujan terus-menerus, Mbah Suriyat mengaku tidak banyak mendapatkan kembang yang mekar karena dirusak cuaca

“Seperti sekarang, jarang ada kembang yang mekar. Kalau musim gini ya dijual, yang ada saja seperti kembang kantil itu. Tiga kuntum ada yang beli Rp10 ribu,” tambahnya.

Dengan mata berkaca-kaca, Mbah Saruti mengaku ingin berhenti bekerja berjualan kembang karena badannya sudah sakit-sakitan. Namun jika tidak bekerja, tidak ada yang akan menanggung kebutuhannya sehari-hari.

“Ada cucu keponakan tapi saya nggak enak kalau jadi beban mereka. Mereka sudah sering antar saya kalau periksa ke dokter. Jadi ya harus kerja, tidak ada pilihan lain,” pungkasnya. (*)

 

Editor: Mohamad S

Publisher: Zainul Hasan R

Artikel ini telah dibaca 76 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Perputaran Uang Pemotongan Hewan Kurban di Probolinggo Capai Rp 30 Miliar

14 Juni 2025 - 14:23 WIB

PHRI Lumajang Nilai Kebijakan Mendagri Buka Peluang Besar Pertumbuhan Hotel dan Restoran

8 Juni 2025 - 08:58 WIB

Terjadi Deflasi, Harga Cabai di Jember Turun Drastis

4 Juni 2025 - 01:41 WIB

Gurihnya Keripik Talas Lereng Gunung Semeru Rambah Luar Daerah

29 Mei 2025 - 17:17 WIB

Laris Sebelum Hari H, Sapi Kurban di Pasuruan Hampir Habis

28 Mei 2025 - 17:14 WIB

Disporapar Probolinggo Gelar Pelatihan Digital, Dorong Pegiat Ekonomi Kreatif Kuasai Teknologi

28 Mei 2025 - 16:43 WIB

Jual Sapi Zaman Now: Offline, Online, tetapi Tetap Bikin Dompet Tebal

27 Mei 2025 - 17:16 WIB

Menjelang Idul Adha, Harga Hewan Ternak di Lumajang Merangkak Naik

24 Mei 2025 - 18:34 WIB

Pedagang Hewan Qurban Musiman Mulai Bertebaran di Kota Probolinggo

23 Mei 2025 - 18:07 WIB

Trending di Ekonomi