Lumajang, – Direktur PT Kalijeruk, Mayo Walla baru-baru ini memberikan penjelasan terkait pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang menjadi perhatian publik. Izin HGU tersebut berlaku selama 25 tahun, mulai 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2043, dengan total luas lahan mencapai 1.197,97 hektare.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, adanya perubahan signifikan dalam penggunaan lahan, khususnya perubahan sebagian besar lahan menjadi kebun tebu.
Awalnya, lahan HGU ini direncanakan untuk menanam tanaman keras seperti kakao, kopi, dan kelapa. Namun, saat ini sekitar 400 hektare lahan telah ditanami tebu, dan proses penanaman tebu masih berlangsung sebagai bagian dari program peremajaan lahan.
“Penanaman tebu termasuk dalam kategori tanaman perkebunan yang diizinkan, sehingga tidak melanggar aturan,” Mayo, Selasa (3/6/25).
Salah satu yang paling krusial adalah potensi risiko banjir akibat pengelolaan lahan tebu. Sisi lain Mayo meyakinkan, bahwa tebu memiliki kemampuan menyerap air dan teknik terasiring sudah diterapkan untuk mencegah banjir.
Namun, tebu dikenal memiliki daya serap air yang rendah, terutama saat musim panen ketika lahan gundul, sehingga berpotensi memperparah risiko banjir di daerah hilir. “Sejauh ini record-nya tebu sangat aman,” katanya singkat.
Toher, warga Dusun Kalibanter, Desa Kalipenggung mengungkapkan, kejadian banjir pada bulan puasa kemarin. Pada saat musim hujan, daerah tempat tinggalnya sering kebanjiran.
“Kalau dulu belum pernah banjir, semenjak lahan beralih fungsi jadi tebu ini, baru kami merasakan banjir,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra