GADING-Warga Dusun Ranon, Desa Ranuwurung, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo rutin menggelar selamatan desa setiap kali musim hujan tiba. Hal itu dilakukan agar sebuah danau yang ada di desa setempat tidak lagi menyumberkan air ke permukaan.
Di Dusun Ranon terdapat sebuah lembah yang dikelilingi perbukitan pegunungan Argopuro. Diyakini masyarakat setempat, dulunya lembah tersebut merupakan sebuah danau yang dibuat untuk dijadikan lokasi pemandian bidadari.
“Cerita ini turun-temurun disampaikan sesepuh saya, danau itu yang membuat genderuwo atas permintaan bidadari yang ingin dinikahi, istilahnya itu sebagai syarat,” kata Sekretaris Desa Ranuwurung, Bambang Hermanto, Minggu (24/7/2022).
Dijelaskannya, kisah genderuwo dan bidadari tersebut hampir mirip dengan cerita Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat dan Candi Prambanan di Jawa Tengah. Sang bidadari hanya memberikan waktu semalam kepada genderuwo untuk menyelesaikan pembuatan danau tersebut. Jika dalam waktu tersebut danaunya gagal dibuat, maka genderuwo itu gagal memenuhi syarat untuk menikahi sang bidadari.
Syarat tersebut disanggupi genderuwo. Ketika malam tiba, proses pembuatan danau dimulai. Namun, belum selesai danau tersebut dibuat, suara kokok ayam sudah berbunyi, menandakan pagi telah tiba.
Sehingga, meski danau tersebut hampir selesai, sang genderuwo enggan melanjutkan pekerjaaannya karena telah gagal memenuhi syarat sang bidadari.
“Makanya desa ini dinamai Ranuwurung alasannya cerita itu, karena ‘ranu’ sendiri artinya danau. Sedangkan ‘wurung’ artinya batal atau gagal dalam menyelesaikan pembuatan danaunya,” paparnya.
Meski disebut sebagai ranu wurung atau danau yang batal nyatanya danau tersebut selalu mengeluarkan air (keluar sumber) saban tahunnya. Tak hanya itu, hingga tahun 1999, danau tersebut selalu memakan korban jiwa. Sehingga, warga sekitar kompak untuk rutin menggelar selamatan saban tahunnya agar ranu tersebut tidak lagi memakan korban jiwa.
Setiap awal musim hujan tiba, warga sekitar sudah muai menyiapkan beberapa bahan untuk dijadikan kebutuhan selamatan. Mulai dari mempersiapkan hasil bumi, hingga beberapa buah yang dibeli dari pasar.
Baru ketika memasuki pertengahan musim hujan, warga akan berkumpul di satu titik di area danau tersebut untuk meggelar selamatan bersama. Hal ini juga dilakukan agar danau tersebut tidak lagi menyumberkan air ke permukaan.
“Dulu yang merawat danau ini namanya Bujuk Sise, tapi semenjak beliau meninggal, saban tahunnya selalu saja ada orang yang meninggal di danau,” terangnya.
Selain korban jiwa, potensi banjir saban tahun di danau tersebut juga sangat disadari oleh warga setempat. Sehingga, pada 2015 lalu warga setempat pun bergotong royong untuk membuat jalur pembuangan air dari danau tersebut ke Sungai Rondoningo yang berada di barat daya danau.
Berselang setahun kemudian, danau tersebut kembali menyumberkan air yang cukup melimpah, namun tidak sampai menimbulkan banjir besar karena sudah ada jalur pembuangan airnya.
Ia juga menceritakan, sejatinya, jika dibiarkan dan tidak menggelar selamatan, area danau tersebut bisa saja menjadi area wisata. Bahkan, terakhir kali danau tersebut menyumberkan air pada 2016 lalu, banyak warga luar desa yang berbondong-bondong untuk berwisata.
Ada yang mengaku takjub dengan keindahannya, ada pula yang mengaku kasihan lantaran lahan sawah warga yang ada di sekitar danau tersebut ditutupi air danau.
Pria yang sudah menjadi bagian dari pemerintah desa setempat tersebut juga menjelaskan, pihaknya memang sengaja tidak membiarkan kawasan ‘ranu wurung’ menjadi objek wisata, pasalnya, di area danau tersebut kini sudah didiami warga setempat dengan jumlah 21 kartu keluarga (KK).
“Yang 21 KK yang ada di area ranu ini saban tahunnya setiap musim hujan pasti khawatir. Karena kalau dibiarkan, ranunya bisa kembali menyumberkan air, bisa tenggelam rumah 21 KK itu. Yang 2016 saja itu dalamnya sampai 7,5 meter,” terang Bambang. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Zainul Hasan R.