Lumajang, – Nasib petani tebu di Kabupaten Lumajang terancam menjelang musim tanam mendatang. Sebanyak 9.000 ton gula hasil panen petani masih tertimbun di gudang PG Jatiroto sejak akhir Juni 2025.
Salah satu penyebab utama kondisi ini adalah bocornya gula rafinasi impor ke pasar konsumsi, padahal semestinya hanya untuk kebutuhan industri.
Manager Keuangan dan Umum PT SGN PG Jatiroto, Apit Eko Prihantono menjelaskan, kebijakan impor gula rafinasi yang tidak tepat sasaran telah mengganggu penyerapan gula dari petani lokal.
“Gula rafinasi itu seharusnya untuk industri makanan dan minuman, tapi sekarang malah masuk ke pasar konsumsi. Ini menyebabkan gula petani tidak terserap dan menumpuk di gudang,” katanya, Kamis (4/9/25).
Dampak dari kondisi ini tidak hanya membuat stok menumpuk, tetapi juga mengganggu rantai distribusi dan persiapan musim tanam (MT) 2025/2026.
Petani mengalami kesulitan likuiditas karena hasil panen belum terjual, sehingga tidak memiliki dana operasional untuk menanam kembali.
Gudang penyimpanan PG Jatiroto sendiri memiliki kapasitas 59.500 ton, namun kini sudah terisi lebih dari 45.000 ton, dengan penambahan terus terjadi tiap hari.
Sementara itu, penyerapan oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) Indonesia masih belum mampu mengurai persoalan sepenuhnya.
Menanggapi hal ini, pihak PG Jatiroto berharap pemerintah segera melakukan pembatasan kuota impor gula rafinasi agar tidak lagi mengganggu pasar konsumsi domestik. Selain itu, perlu ada pengawasan ketat agar gula rafinasi tidak keluar dari jalur distribusi industri.
“Pemerintah harus membuat kebijakan yang melindungi gula petani. Impor perlu dibatasi supaya tidak bocor ke pasar konsumsi,” tegas Apit.
Dari total 9.000 ton yang tertahan, baru 6.500 ton yang direncanakan akan diserap 5.500 ton oleh ID Food dan 1.000 ton oleh SGN. Namun seluruhnya masih dalam proses dan belum didistribusikan keluar gudang.
Hingga kini, belum ada kepastian kapan seluruh stok gula petani akan terserap. Sementara itu musim tanam baru semakin dekat dan petani masih bergantung pada hasil panen sebelumnya untuk bertahan hidup dan melanjutkan usaha tani mereka.
“Selama penyerapan belum terealisasi, petani dua bulan ini belum menerima DO yang cair dan tetap menanggung bunga bank. Kredit komersil mereka juga banyak yang sudah lewat jatuh tempo,” kata Edy Sudarsono, Plt Ketua DPC Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) PG Jatiroto.
Edy menambahkan, ketidakpastian ini berdampak pada kesinambungan usaha tani rakyat. “Banyak petani tidak bisa merawat lahan mereka karena keterbatasan dana,” katanya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra