Menu

Mode Gelap
Di Kota Probolinggo, Bayi Perempuan Ditemukan di Teras Rumah, Dilengkapi Surat Wasiat Stok BBM di Jember Kini Normal, Mobilitas Masyarakat Kembali Lancar Pemkot Probolinggo Batalkan Rencana Bangun SMPN di Wilayah Barat, Disdikbud Beberkan Alasan Mengenal Roisatul Muttaqin Alalloh, Dara Cantik asal Jorongan Probolinggo yang Wakili Indonesia di 3 Negara Bupati Tersentuh Nasib Lansia Tinggal di Rumah Tidak Layak di Kunir Pemilik Kafe Magnolia Siap Buka Ruang Komunikasi Soal Lahan Parkir

Budaya · 11 Mar 2024 10:24 WIB

Belasan Ogoh-ogoh Meriahkan Tawur Kesanga Umat Hindu Lereng Semeru


					MERIAH: Suasana kemeriahan pawai ogoh-ogoh dalam rangka Tawur Kesanga Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946 di lereng Gunung Semeru Lumajang. (foto: Asmadi). Perbesar

MERIAH: Suasana kemeriahan pawai ogoh-ogoh dalam rangka Tawur Kesanga Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946 di lereng Gunung Semeru Lumajang. (foto: Asmadi).

 

Lumajang,- Peringati Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1946, umat Hindu di lereng Gunung Semeru Kabupaten Lumajang, menggelar pawai ogoh-ogoh. Pawai ini mengambil rute dari Pure Mandaragiri Semeru Agung sampai dengan depan balai Desa Senduro.

Sebanyak 15 ogoh-ogoh dengan desain artistik dan dilengkapi pergelaran seni tari sebagai latar tema diarak meriah. Meski gerimis turun, namun tak mengurangi antusiasme warga.

Ketua Pengurus Harian Pura Mandara Giri Semeru Agung Wira Dharma menyapaikan, prosesi arak ogoh – ogoh ini mulai dari Tawur Kesanga pada jam 11.00 WIB, dilanjutkan Muwadaksina hingga tengah malam yang puncak ritual.

“Arakan ogoh-ogoh ini diikuti oleh beberapa Desa yang ada di Kecanatan Senduro. Ada yang dari Desa Burno, Kandangan, Kandang Tepus, Wonocempokoayu, dan beberapa desa lain di Kecamatan Senduro,” kata Wira, Minggu (10/3/24) malam.

Wira menjelaskan, ogoh-ogoh ini adalah sebagai simbol perwujudan Buta Kala. Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.

“Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud raksasa,” imbuh dia.

Ogoh-ogoh berperan sebagai simbol untuk penetralisir kekuatan-kekuatan negatif atau kekuatan Bhuta. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi adalah perwujudan Bhuta Kala, makhluk besar dan menyeramkan.

“Maka dari itu, dalam kepercayaan kami ini disumiakan (dibakar, red) agar tidak mengganggu umat manusia,” paparnya.

Selama satu tahun sekali, menurut Wira, masyarakat Kecamatan Senduro menyelenggarakan pawai ogoh-ogoh sebagai bentuk apresiasi kepada Seni yang juga menjadi roh pelaksanaan Hari Suci Penyepian.

“Pawai juga melibatkan anak kecil, agar sejak dini sudah ditumbuhkan semangat dan bangga dengan tradisi perayaan Hari Raya Nyepi ini,” Wira memungkasi. (*)

 

 

Editor: Mohamad S

Publisher: Moch. Rochim

Artikel ini telah dibaca 85 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

Wisatawan Mancanegara Ramaikan Tradisi Jolen di Lereng Gunung Semeru

28 Juli 2025 - 19:28 WIB

Tradisi Ujung dan Ujub, Upaya Menolak Bala di Desa Kandangan

28 Juli 2025 - 18:00 WIB

Dari Tumpeng hingga Sayuran, Warga Berebut Isi Jolen Penuh Kegembiraan

28 Juli 2025 - 14:24 WIB

Ada Nilai Filosofis Calon Arang dalam Pementasan Seni Menyuarakan Dharma

21 Juli 2025 - 09:26 WIB

Tradisi Tak Lekang Waktu, Bhakti Penganyar Jadi Jembatan Budaya Bali dan Jawa

18 Juli 2025 - 15:00 WIB

1.923 Petani Lumajang Tercakup Asuransi Usaha Tani Padi

10 Juli 2025 - 16:52 WIB

Cok Ace Dorong Kolaborasi Budaya Bali dengan Lumajang

10 Juli 2025 - 16:21 WIB

Diresmikan Saat Purnama 1992, Pura di Senduro Kini Jadi Titik Sakral Umat Hindu

10 Juli 2025 - 15:52 WIB

Pujawali Rama Satunggal Warsa, Momen Pererat Persaudaraan Umat Hindu se-Nusantara

6 Juli 2025 - 18:02 WIB

Trending di Budaya