Lumajang, – Di lereng Gunung Lemongan, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, nama Daim (64) pernah menjadi bahan ejekan.

Ia dicap gila oleh tetangganya sendiri karena memilih keluar-masuk hutan untuk menanam pohon pinang. Tanaman yang kala itu dianggap tidak bernilai dan tidak masuk akal secara ekonomi. Namun, puluhan tahun berlalu, stigma itu runtuh.

Hutan yang ditanam Daim kini terhampar hijau di atas lahan seluas 14 hektare, menjadi benteng alami yang menyelamatkan ribuan warga dari ancaman banjir.

Daim lahir dan besar di kaki Gunung Lemongan. Ikatan batinnya dengan alam terjalin sejak kecil, namun juga diwarnai pengalaman pahit.

Rumah keluarganya pernah hanyut diterjang banjir bandang. Bencana yang ia yakini dipicu oleh rusaknya hutan akibat kebakaran dan pembalakan liar. Peristiwa itulah yang menjadi titik balik hidupnya.

Advertisement

“Kalau musim hujan banjir, kalau kemarau kebakaran hutan. Saya berpikir, ini pasti karena hutannya gundul,” kata Daim mengenang awal mula tekadnya, Rabu (17/12/2025).

Pada 1996, Daim mulai melangkah sendirian ke lereng curam Gunung Lemongan. Berbekal cangkul, arit kecil, dan ember berisi bibit pinang, ia menembus semak belukar untuk menanam pohon di jurang-jurang hutan produksi. Keputusannya menanam pinang membuat banyak orang menggelengkan kepala.

Saat itu, pinang hanya dihargai sekitar Rp 3.000 per kilogram, bahkan tidak cukup untuk membeli satu kilogram beras. Di saat orang-orang berlomba menanam jati dan sengon yang bernilai tinggi, Daim justru memilih tanaman yang dianggap tak menjanjikan.

“Saya dibilang orang gila. Setiap hari diolok-olok karena nanam pinang yang gak laku,” tutur Daim.

Namun, ia bergeming. Bagi Daim, tujuan utamanya bukan keuntungan, melainkan keselamatan warga. Ia menyadari akar pinang yang kuat mampu menyerap air, sementara pelepah dan daun yang jatuh dapat menahan laju air hujan serta mencegah erosi.

Perlahan, jurang yang dulu dalam mulai dangkal, dan air hujan tak lagi mengalir deras ke permukiman.

Keberhasilan awal itu membuat Daim semakin yakin. Dari hutan produksi, ia melangkah lebih jauh ke hutan lindung. Tahun demi tahun berlalu, ia terus menanam, merawat, dan menjaga pohon-pohon pinangnya. Hingga kini, kawasan hutan Lemongan yang berhasil dihijaukannya mencapai sekitar 14 hektare.

“Pinang ini kuat nahan erosi. Kalau hujan, air tidak langsung turun deras. Itu yang bikin banjir berkurang,” jelasnya.

Hutan yang dulu gersang kini berubah menjadi sabuk hijau yang melingkari lereng gunung. Banjir yang dulu rutin menghantui warga perlahan menghilang. Tanpa disadari, apa yang dulu dianggap kegilaan justru menjadi penyelamat.

Waktu akhirnya membuktikan pilihan Daim. Ketika harga pinang mulai naik pada 2014, warga yang dulu mencibir justru mulai mengikuti jejaknya. Dari yang awalnya mengejek, kini mereka ikut menanam pinang di hutan.

“Dulu bilang saya gila, sekarang bilangnya betul nanam pinang,” kata Daim sambil tersenyum.

Perubahan sikap itu tidak membuat Daim merasa menang. Ia justru bersyukur semakin banyak orang terlibat menjaga hutan. Meski sebagian warga menanam pinang demi ekonomi, Daim menilai hal itu tetap berdampak positif bagi kelestarian alam.

“Kalau makin banyak yang nanam, hutannya makin kuat. Saya sendiri gak mungkin sanggup menjaga semuanya,” ujarnya.

Hutan pinang yang ditanam Daim kini memberi manfaat ganda. Selain meredam banjir, hutan tersebut juga menjadi sumber penghidupan warga sekitar.

Pelepah pinang dimanfaatkan sebagai pembungkus dodol, sementara tanaman pakis yang tumbuh di bawahnya dijual ke pasar. Setidaknya 10 warga dipekerjakan Daim sebagai buruh panen dan pengupas pinang.

Semua itu terjadi tanpa klaim kepemilikan berlebihan. Warga bebas memanfaatkan hasil hutan selama tidak merusak pohon.

Kini, di usianya yang tak lagi muda, Daim berharap perjuangannya tidak berhenti padanya. Ia ingin generasi muda meneruskan semangat menanam sebagai bentuk mitigasi bencana.

“Menanam itu seperti sedia payung sebelum hujan. Kalau hutannya terjaga, yang selamat bukan cuma satu orang, tapi ribuan,” pungkasnya. (*)

Editor: Ikhsan Mahmudi

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.