Lumajang, – Gunung Semeru, gunung api tertinggi di Pulau Jawa yang terletak di perbatasan Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, tercatat telah mengalami 2.449 kali erupsi sepanjang Januari hingga September 2025, berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Meski aktivitasnya tinggi, status gunung dengan ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut ini masih berada pada Level II (Waspada).
Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (17/9/25).
“Masyarakat perlu memahami bahwa meskipun statusnya masih Waspada, Gunung Semeru tetap aktif dan memiliki potensi bahaya yang signifikan,” kata Muhari.
Selain guguran awan panas dan lontaran abu vulkanik, Gunung Semeru juga menyimpan risiko bahaya sekunder berupa banjir lahar dingin, terutama saat memasuki musim hujan. Material vulkanik dari erupsi yang menumpuk di lereng gunung dapat terbawa aliran air hujan dan meluap ke wilayah hilir.
Tiga daerah aliran sungai (DAS) yang memiliki potensi tinggi terdampak aliran lahar dingin seperti, Sungai Besuk Kobokan di Kecamatan Pronojiwo, Sungai Besuk Lanang Desa Supiturang, Pronojiwo, dan Sungai Regoyo Kecamatan Candipuro.
Untuk itu, Muhari mengingatkan risiko ini perlu diantisipasi bersama-sama melalui edukasi masyarakat, peningkatan sistem peringatan dini, serta penyiapan jalur evakuasi dan tempat pengungsian.
Sebagai catatan, banjir lahar dingin pada April 2024 yang dipicu curah hujan tinggi telah menyebabkan kerusakan parah di sembilan kecamatan di Kabupaten Lumajang.
Bencana tersebut merusak empat rumah warga, satu unit sepeda motor, 24 unit dam irigasi, serta 17 jembatan delapan di antaranya putus total. Tragedi itu juga merenggut dua nyawa warga Candipuro.
“Kita tidak bisa menunggu status naik untuk bertindak. Kesiapsiagaan harus dibangun sejak dini, bahkan saat status masih Waspada,” tegas Muhari.
Menurutnya, kondisi saat ini menuntut penguatan identifikasi risiko, perluasan jangkauan edukasi kebencanaan, dan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah pusat, daerah, lembaga teknis, hingga komunitas masyarakat.
“Kolaborasi lintas lembaga mutlak diperlukan agar kita bisa menekan potensi korban jiwa dan kerugian materi,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra