Jember,- Kebijakan sejumlah partai politik (parpol) yang menonaktifkan anggota DPR pasca gelombang unjuk rasa di tanah air, mendapat sorotan dari kalangan akademisi.
Ketua Pusat Studi Hukum Pancasila dan Konstitusi (Pushpasi) UIN KH Achmad Siddiq Jember, Basuki Kurniawan, menegaskan langkah tersebut tidak memiliki pijakan hukum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
“Terminologi itu hanya muncul secara terbatas pada Pasal 144 ayat (2), dan itu pun hanya berlaku untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan untuk anggota DPR secara keseluruhan,” ujar Basuki, Jumat (5/9/25).
Menurut Basuki, satu-satunya mekanisme sah yang diatur undang-undang untuk mengakhiri masa jabatan anggota DPR adalah Pemberhentian Antar Waktu (PAW).
Pasal 239 UU MD3 menyebutkan, bahwa anggota DPR bisa diberhentikan antar waktu jika meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partai pengusungnya.
“Ketentuan ini juga diperluas untuk alasan lain, seperti tidak hadir tiga bulan berturut-turut, melanggar sumpah jabatan, atau terbukti bersalah dengan ancaman hukuman minimal lima tahun,” paparnya.
Ia menambahkan, dalam UU MD3 juga dikenal mekanisme pemberhentian sementara sebagaimana diatur Pasal 244.
Mekanisme ini, lanjutnya, berlaku bagi anggota DPR yang berstatus terdakwa dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih.
“Tapi ini pun sifatnya kondisional, karena jika terbukti tidak bersalah, anggota yang bersangkutan bisa diaktifkan kembali,” terangnya.
Basuki menekankan, keputusan partai politik untuk memakai istilah penonaktifan hanya bersifat internal dan tidak berdampak pada status hukum anggota DPR.
Hak, kedudukan, dan fasilitas yang melekat pada anggota dewan tetap berlaku sampai ada keputusan resmi PAW.
“Secara hukum tata negara, hanya PAW atau pemberhentian sementara yang bisa mengubah status resmi anggota DPR. Jadi, istilah penonaktifan itu murni konstruksi politik, bukan hukum,” Basuki menegaskan.
Lebih lanjut, Basuki menjelaskan bahwa persoalan etik dan perilaku anggota DPR seharusnya ditangani Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan langsung oleh partai.
Ia mencontohkan kasus pergantian antarwaktu, seperti yang menimpa Fandi Utomo dari Partai Demokrat maupun anggota Gerindra yang digantikan Mulan Jameela. “Itu tetap diproses sesuai jalur administratif resmi sebagaimana diatur dalam UU MD3,” pungkasnya. (*)
Editor : Mohammad S
Publisher : Keyra