Lumajang, – Kasus PT Kalijeruk menunjukkan pentingnya transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi perizinan perkebunan di Indonesia.
Ketidakjelasan status izin dan kurangnya data pendukung yang diserahkan kepada DPRD dapat menimbulkan risiko hukum dan sosial, termasuk potensi konflik lahan dan kerugian bagi masyarakat sekitar.
Direktur PT Kalijeruk Mayo Walla mengaku, jika luas lahan yang mereka kuasai seluas 1.197 hektare, namun data yang ditemukan di sistem Online Single Submission (OSS) hanya mencatat 9,6 hektare.
“Pendaftaran izin yang masuk ke OSS masih dalam proses aktivasi, sehingga belum semua izin resmi terbit,” kata Mayo, Senin (2/6/25).
Sementara itu, Ketua DPRD Lumajang, Oktafiani menegaskan, pihaknya belum melakukan verifikasi teknis terkait luas lahan yang benar-benar ditanami oleh PT Kalijeruk.
“Hingga kini, DPRD hanya menerima data bahwa ada 10 Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan sejak 2018, namun belum ada rekomendasi resmi terkait alih fungsi lahan dari tanaman keras ke tebu,” kata Oktafiani.
Oktafiani menilai, PT Kalijeruk kurang kooperatif dalam memberikan data dan dokumen pendukung, termasuk surat rekomendasi yang menjadi syarat administratif penting.
“Meskipun Direktur PT Kalijeruk hadir dalam rapat, data faktual dan dokumen resmi yang dibutuhkan belum diserahkan secara lengkap,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, ratusan warga dari tiga desa di Kecamatan Randuagung seperti, Ranulogong, Salak, dan Kalipenggung menggelar aksi massa ke kantor DPRD Lumajang, Senin (2/6/25).
Aksi ini dipicu oleh dugaan penyimpangan pengelolaan lahan seluas 1.200 hektare oleh PT Kalijeruk Baru (KJB), yang menurut warga dikelola secara ilegal dan tidak sesuai dengan peruntukan awal.
Koordinator aksi, Munip, menegaskan, bahwa massa menuntut keadilan atas perubahan fungsi lahan dan dampak lingkungan yang dirasakan masyarakat.
“Segera diusut tuntas persoalan PT Kalijeruk,” kata Munip dalam orasinya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra