MAYANGAN-PANTURA7.com, Bulan Suro atau Muharram dalam Kalender Hijriah, bagi sebagian orang Jawa identik dengan jamasan (mencuci) pusaka. Tujuannya membersihkan atau menyucikan pusaka, sebagai perwujudan senjata bagi pemiliknya.
Tradisi jamasan pusaka sudah berlangsung turun-temurun. Apalagi, jika pusaka tersebut diyakini memiliki keistimewaan atau kekuatan (magis).
Sehingga, membuat pemilik pusaka harus rajin merawat pusaka tersebut, utamanya di malam 1 Suro.
Hal ini pula yang dilakukan seorang kolektor benda pusaka, M.Yusuf, warga RT/RW 01/03 Kelurahan Jati, Kecamatan Mayangan. Di malam 1 Suro, ia melakukan ritual ngumbah pusaka dibantu seorang tenaga ahli khusus.
Suro dimaknai sebagai bulan pertama dalam sistem kalender Jawa-Islam. Kata Suro berasal dari Asyuro dalam bahasa Arab. Suro dengan Kalender Jawa dicetuskan Raja Mataram Islam, Sultan Agung.
“Namun Sultan Agung masih memadupadankan penanggalan Hijriah dengan tarikh Saka, tujuannya dapat merayakan keagamaan diadakan bersamaan dengan seluruh umat Islam dan menyatukan masyarakat Jawa yang terpecah saat itu antara kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam),” kata Yusuf, Minggu (23/8/2020).
Bagi sebagian orang, malam 1 Suro identik sesuatu yang menyeramkan, penuh bencana dan bulannya para makhluk gaib. Beberapa orang juga masih mempercayai dengan berbagai macam mitos yang pantang untuk dilanggar, seperti larangan malam 1 Suro untuk keluar rumah.
“Dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas, banyak juga perayaan tradisi Jawa serta amalan yang dilakukan pada malam 1 Suro untuk memperingati perayaan malam 1 Suro,” katanya.
Perayaan-perayaan tersebut, seperti tapa bisu, tirakatan, kungkum, kirab budaya, dan pencucian pusaka. Sedangkan amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam, contohnya seperti melakukan puasa sunah (Tasu’a dan ‘Asyura) dan menyantuni anak yatim,” imbuh Yusuf.
Hal yang sama juga dikatakan, Agus. Setidaknya, ada 8 pusaka koleksinya yang disucikan dengan ritual ngumbah keris. Mulai dari pusaka berbentuk keris hingga tombak yang diyakini merupakan peninggalan sejak zaman Mataram dan Majapahit.
Agus mengaku, tidak semua pusaka koleksinya itu hasil “berburu”. Namun ada juga pusaka-pusaka itu yang diperolehnya dari “getaran” spiritualnya.
“Pusaka itu istilahnya harus mau ikut sang empunya. Kalau dia (pusaka) itu tidak mau ikut kita ya tidak bisa dipaksa,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, salah satu pusaka keris milik leluhurnya pernah disimpan oleh seorang saudaranya. Namun, karena tak “berjodoh” keris itu terkesan memberontak.
“Entah percaya atau tidak, tapi hal semacam ini biasanya juga tersampaikan lewat mimpi. Dalam mimpi saya pernah didatangi oleh seseorang dengan pakaian jubah putih, dan berkata ingin ikut saya. Ini setelah saya pegang keris dari leluhur itu,” pungkasnya.
Sejak itu lah, ia pun merawat pusaka yang dimilikinya termasuk pada malam 1 Suro ini. Hingga saat ini, ia baru memiliki beberapa benda pusaka, seperti dua Keris Semar Mesem, Keris Mardikan dengan pamor Bulu Ayam, Keris Kiai Sengkelat yang diyakini dari era Majapahit, keris Sabuk Inten dengan pamor Sekar Manggar serta pusaka jenis tombak dan keris lainnya.(*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Rizal Wahyudi