Jember, – Selama ini Sound Horeg dikenal masyarakat Jember sebagai suara bising dari pesta jalanan atau hajatan yang sering dianggap mengganggu.

Namun, sekelompok mahasiswa Universitas Jember (UNEJ) justru melihat fenomena ini dari sisi lain.

Lewat penelitian yang dilakukan lewat Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), mereka menemukan bahwa Sound Horeg tidak hanya soal kebisingan, tapi juga punya potensi ekonomi dan menunjukkan lemahnya pengaturan tata ruang di wilayah perkotaan.

Ketua tim riset, Tegar Tri Wibowo dari Fakultas Teknik UNEJ, mengatakan bahwa hasil penelitian mereka membuka pandangan baru tentang fenomena ini.

“Kami membuktikan bahwa Sound Horeg bukan hanya gangguan suara. Kalau diatur dengan kebijakan yang berbasis data, justru bisa menjadi bagian dari ekonomi kreatif. Tapi kalau dibiarkan tanpa aturan, tentu mengganggu kenyamanan warga,” ujar Tegar, Selasa, (28/10/25).

Advertisement

Riset ini dibimbing oleh Alifan Cahyana, dan menjadi salah satu karya mahasiswa UNEJ yang lolos pendanaan nasional dari Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Ditjen Belmawa).

Menurut Alifan, penelitian ini unik karena menggabungkan dua pendekatan sekaligus yaitu teknik dan sosial.

“Tim ini tidak hanya menghitung tingkat kebisingan, tapi juga melihat dampaknya bagi masyarakat dan bagaimana seharusnya tata ruang diatur,” jelasnya.

Penelitian dilakukan di tiga kecamatan perkotaan, yaitu Patrang, Sumbersari, dan Kaliwates, pada Agustus hingga September 2025.

Dengan bantuan alat pengukur suara (Sound Level Meter) dan sistem pemetaan digital (GIS), tim membuat peta kebisingan yang menunjukkan bahwa suara Sound Horeg bisa mencapai 95–125 desibel, jauh di atas batas aman 55–85 dB.

Selain itu, mereka juga melakukan survei terhadap 405 warga. Hasilnya, 61% responden merasa terganggu, namun 25% lainnya menganggapnya biasa saja, menunjukkan bahwa masyarakat punya tingkat toleransi berbeda terhadap kebisingan.

Tegar menambahkan, di balik kebisingan itu ternyata ada aktivitas ekonomi yang tumbuh, seperti penyewaan alat musik, jasa event organizer, dan bengkel modifikasi kendaraan.

“Itu artinya ada nilai ekonomi yang belum diatur. Fenomena ini seharusnya tidak hanya dilarang, tapi diatur dengan bijak,” ujarnya.

Dari hasil penelitian tersebut, tim PKM-RSH UNEJ menyusun rekomendasi kebijakan dan rancangan regulasi sederhana berbasis data spasial agar pemerintah daerah bisa mengatur fenomena Sound Horeg dengan cara yang lebih adil dan tidak merugikan masyarakat.

“Kami ingin hasil penelitian ini bisa membantu pemerintah. Tujuannya bukan untuk mematikan kegiatan warga, tapi menatanya agar tidak mengganggu dan tetap memberi manfaat ekonomi,” tutup Tegar. (*)

Editor: Mohammad S

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.