Probolinggo,- Ribuan santri dan alumni pondok pesantren dari berbagai wilayah di Kabupaten Probolinggo, memadati halaman kantor DPRD setempat, Minggu (19/10/25) pagi.
Mereka datang dalam aksi damai yang digelar oleh Forum Komunikasi Pondok Pesantren Probolinggo (FKPPPro) sebagai bentuk protes terhadap tayangan program Xpose Uncensored Trans7 yang dinilai melecehkan martabat kiai dan kehidupan pesantren.
Sejak pagi, massa aksi yang terdiri dari ribuan santri, alumni, hingga para kiai muda mulai berdatangan dengan tertib. Mereka membawa berbagai poster dan spanduk yang berisi seruan moral.
Suasana aksi berlangsung khidmat dan tertib. Meski diikuti ribuan peserta, tidak ada tindakan anarkis yang terjadi. Para santri duduk bersila di depan gedung dewan sambil bershalawat dan mendengarkan orasi dari perwakilan pesantren.
Loordinator aksi, KH. Moh. Hasan Naufal atau yang akrab disapa Gus Boy, membacakan tujuh tuntutan resmi kepada pihak Trans7, pemilik Trans Media Group, serta lembaga pengawas penyiaran nasional.
Tujuh tuntutan tersebut dinilai sebagai langkah moral sekaligus bentuk tanggung jawab sosial dari kalangan pesantren terhadap marwah pendidikan Islam di Indonesia.
1. Pemilik Trans Media, H. Chairul Tanjung, diminta untuk sowan kepada para kiai yang dilecehkan dalam tayangan tersebut sebagai bentuk penghormatan dan permintaan maaf secara langsung. Proses sowan itu diminta untuk didokumentasikan dan disiarkan secara nasional sebagai bentuk tanggung jawab moral.
2. Trans7 diminta menayangkan permintaan maaf resmi di seluruh platform media miliknya, baik televisi maupun digital, dengan durasi dan jangkauan yang setara dengan dampak tayangan yang telah menyesatkan masyarakat.
3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) RI diminta memperketat pengawasan terhadap tayangan yang berpotensi menimbulkan fitnah, kebencian, dan polarisasi sosial. KPI juga diminta menjatuhkan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Penyiaran.
4. Sanksi hukum tegas diharapkan diberikan kepada Trans7, baik berupa teguran keras, penghentian sementara program, atau kewajiban menayangkan konten edukatif yang mengangkat peran pesantren dan kiai dalam pembangunan bangsa.
5. DPRD Kabupaten Probolinggo didesak untuk meneruskan aspirasi ini ke DPR RI, agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan penyiaran nasional serta penindakan terhadap pelanggaran serupa di masa mendatang.
6. Trans7 juga diminta untuk mengungkap identitas narator dan tim produksi program Xpose Uncensored yang bertanggung jawab atas tayangan kontroversial tersebut, sekaligus menuntut permintaan maaf langsung dari pihak yang bersangkutan.
7. Santri menyerukan agar Trans7 menayangkan program “Khazanah Pesantren”, yang menampilkan kehidupan pesantren secara objektif, bijak, dan mendidik sesuai dengan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
“Santri bukan anti kritik, tapi kami menolak jika pesantren dijadikan bahan olok-olokan dan tayangan yang menyesatkan publik,” tegas Gus Boy di hadapan ribuan peserta aksi.
Di akhir aksi, ribuan santri bersama para kiai membacakan doa bersama dan menyanyikan lagu Yaa Lal Wathan sebagai simbol cinta tanah air dan penghormatan terhadap nilai-nilai Islam Nusantara.
Mereka berharap aksi ini menjadi momentum bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan konten publik, khususnya yang berkaitan dengan simbol-simbol agama dan pendidikan pesantren.
“Kita adalah santri Nusantara, yang sampai mati akan membela kiai,” ucap Gus Boy.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Didik Humaidi, menemui langsung massa aksi santri di halaman gedung dewan. Dalam pernyataannya, ia mengapresiasi aksi damai yang dilakukan dengan cara yang santun dan bermartabat.
“Kami menerima dengan hormat aspirasi dari para santri dan ulama. Insyaallah, semua tuntutan ini akan kami sampaikan secara resmi ke DPR RI agar bisa ditindaklanjuti sesuai mekanisme,” ujar Didik.
Sebagai informasi, kontroversi ini berawal dari salah satu episode program Xpose Uncensored di Trans7 yang menampilkan narasi yang merendahkan kehidupan pesantren.
Kalimat dalam tayangan dianggap menyudutkan serta menggambarkan pesantren secara negatif. Tayangan itu pun menuai kecaman luas dari berbagai kalangan di berbagai daerah. (*)













