Lumajang, – Di tengah upaya pemerintah menghadirkan gizi seimbang melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), muncul tantangan baru yang sering luput dari perhatian, limbah makanan. Namun di tangan para pemuda Lumajang, sisa makanan dari dapur MBG justru menjadi sumber inovasi, peluang usaha, dan solusi lingkungan.
Melalui inisiatif yang digagas oleh komunitas Rumah Muda Berdaya, para pemuda berhasil mengolah sisa makanan menjadi produk ramah lingkungan seperti eco enzyme, pupuk cair, hingga pakan magot. Proses pengolahan ini bukan hanya mengurangi sampah, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru di kalangan anak muda.
Pendiri Rumah Muda Berdaya, Asriafi Ath Thaariq, menjelaskan, limbah MBG sebenarnya menyimpan potensi besar.
“Ada beberapa peluang yang bagus saat ini, yaitu mencari limbah makanan dari Program MBG yang bisa dibuat eco enzyme,” katanya, Minggu (5/10/25).
Asriafi menekankan eco enzyme bukan sekadar cairan pembersih. Dengan bahan dasar sisa makanan, produk ini dapat digunakan sebagai disinfektan alami, sabun ramah lingkungan, pupuk organik, hingga pakan untuk budidaya magot, yang semuanya memiliki nilai jual tinggi.
“Limbah makanan seharusnya dipandang sebagai modal, bukan masalah. Dengan inovasi dan bimbingan, kita bisa menciptakan produk ramah lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi lokal,” ujarnya.
Menurutnya, keberhasilan program ini bergantung pada kesadaran, disiplin, dan kreativitas generasi muda, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat.
Salah satu pemuda yang telah mempraktikkan ide ini adalah Dzaki Fahruddin, seorang petani muda dan aktivis lingkungan dari SPPG Yosowilangun. Ia secara rutin mengumpulkan sisa makanan dari dapur MBG untuk dijadikan pupuk cair dan eco enzyme.
“Selain mengurangi sampah, hasilnya juga bermanfaat untuk pertanian. Sekarang saya sedang mengembangkan limbah ini menjadi inovasi lain yang bisa dijadikan produk bernilai jual,” kata Dzaki.
Proses pembuatan eco enzyme terbilang sederhana namun membutuhkan ketelatenan. Sisa makanan dicacah lalu dicampur dengan air dan gula merah, kemudian difermentasi selama tiga bulan. Hasil akhirnya adalah cairan multiguna yang ramah lingkungan dan siap dipasarkan.
Tak hanya Dzaki, remaja lainnya seperti Siti Aisyah dan Rifqi Hidayat juga terlibat aktif. Aisyah mengolah limbah menjadi pupuk cair yang ia gunakan sendiri untuk pertanian, sementara Rifqi menekankan bahwa keterlibatannya dalam proses fermentasi mengajarkannya disiplin dan kesabaran.
“Fermentasi membutuhkan waktu dan perhatian, tapi saat eco enzyme jadi, ada rasa bangga. Ini bukan sekadar pekerjaan, tapi karya nyata,” ujar Rifqi.
Selain pengelolaan sampah yang disulap menjadi eco enzyme, pupuk, dan pakan magot, kegiatan ini juga memperkuat jejaring komunitas muda peduli lingkungan. Pertemuan rutin antarpeserta menjadi ajang berbagi pengetahuan, pengalaman, hingga strategi pemasaran produk olahan limbah tersebut.
Asriafi berharap, inisiatif ini bisa direplikasi di desa-desa lain di Lumajang. Dengan sinergi antara pemerintah, komunitas muda, dan masyarakat, limbah makanan tak lagi menjadi beban, tetapi berubah menjadi sumber daya ekonomi dan media edukasi lingkungan.
“Kita ingin generasi muda sadar bahwa setiap bahan memiliki potensi. Limbah makanan bisa jadi eco enzyme, pupuk, atau pakan magot. Ini adalah peluang usaha sekaligus kontribusi bagi bumi,” katanya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra