Jakarta,- DPR RI berjanji akan menindaklanjuti tuntutan masyarakat untuk membahas RUU Perampasan Aset. Namun, RUU Perampasan Aset ini baru bisa dibahas setelah bahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) rampung.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Dasco menyebut telah menerima desakan soal RUU tersebut saat audiensi dengan perwakilan mahasiswa di Kompleks Parlemen, Rabu (3/9/25).
“Terakhir kami sampaikan tinggal menunggu KUHAP selesai, (selanjutnya) kita akan bahas RUU Perampasan Aset,” kata Dasco usai audiensi tersebut.
Dijelaskan Dasco, hal itu dilakukan agar tak ada aturan yang tumpang tindih. Sebab menurut dia, RUU Perampasan Aset masih berkaitan dengan sejumlah undang-undang lain, seperti UU Tipikor, UU TPPU, termasuk Perampasan Aset.
Saat ini, RKUHAP masih dalam tahap penjaringan aspirasi dari masyarakat di Komisi III DPR. Dia telah memberi batas waktu agar RUU tersebut segera diselesaikan.
“Nah, ini RKUHAP masih menerima partisipasi publik, tapi kami sudah sampaikan kepada pimpinan III bahwa sudah ada batas limit yang mesti kita selesaikan,” cetusnya.
Dasco menargetkan RKUHAP bisa selesai di akhir masa sidang kali ini pada pertengahan September mendatang. Sehingga, DPR dan pemerintah bisa memulai pembahasan RUU Perampasan Aset.
“Mudah-mudahan sebelum akhir masa sidang ini untuk KUHAP sudah dapat diselesaikan, sehingga kita bisa langsung masuk ke pembahasan RUU Perampasan Aset,” tutur politisi Partai Gerindra ini.
Sekedar informasi, RUU Perampasan Aset mandek selama lebih dari satu dekade setelah naskah akademiknya pertama kali disusun pada 2008 silam.
Pada 2023, RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023. Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) saat itu juga telah mengirim surat presiden (surpres) RUU Perampasan Aset.
Surpres itu bernomor R 22-Pres-05-2023 yang dikirim tanggal 4 Mei 2023 untuk dibahas bersama DPR, namun tak ada tindak lanjut.
RUU Perampasan Aset mengatur wewenang terkait perampasan aset minimal senilai Rp100 juta. RUU tersebut juga bisa menyita aset penyelenggara negara yang dinilai tak wajar tanpa harus melalui proses pidana.
“Aset tindak pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri atas aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),” bunyi Pasal 6 Ayat 1 huruf a. (*)
Editor: Mohammad S
Publisher: Nuri Maulida