Jember – Memasuki musim kemarau, petani semangka di Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, justru dihadapkan pada persoalan yang tidak terduga. Bukan ketersediaan air, melainkan serangan jamur yang kerap mengancam hasil panen.
Suryadi, petani semangka yang telah tujuh tahun mengelola lahan setengah hektare, mengaku tidak mengalami kesulitan air meski dekat dengan garis pantai selatan.
“Air sumur di sini tetap tawar dan cukup untuk menyiram tanaman setiap dua hari sekali,” katanya, Kamis (24/7/25).
Ancaman sebenarnya, lanjutnya, datang dari penyakit bercak daun akibat jamur patogen seperti, Cercospora dan Alternaria.
“Kalau terlambat semprot fungisida, daun cepat rusak dan buahnya tidak bisa besar,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi, Suryadi rutin menyemprotkan fungisida setiap 7–10 hari sekali. Namun, ia menyayangkan tidak adanya pendampingan teknis dari penyuluh pertanian lapangan (PPL).
“Selama ini saya belajar sendiri dan tanya-tanya ke petani lain. Penyuluh belum pernah datang ke sini,” keluhnya.
Suryadi menanam varietas Madrid dengan bibit merek Bintang Asia. Dalam satu kali panen, ia mampu menghasilkan hingga 17 ton. Dan dalam setahun ia bisa panen empat kali, tergantung kondisi cuaca.
Harga semangka yang ia jual secara tebasan dari lahan bervariasi, mulai Rp8.000 per kilogram saat permintaan tinggi hingga turun ke Rp4.000 ketika pasar jenuh.
“Kalau buah serentak matang, bisa panen tiap empat hari sekali,” jelasnya.
Suryadi berharap ada perhatian lebih dari pemerintah, terutama terkait edukasi pengendalian penyakit tanaman agar petani tidak terus-menerus mengandalkan pengalaman pribadi yang serba terbatas. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra