Jember,– Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember angkat bicara soal maraknya penggunaan sound horeg yang dinilai semakin meresahkan masyarakat.
Dari hasil kajian yang dilakukan selama Juni 2025, aktivitas hiburan jalanan itu terbukti melebihi batas wajar kebisingan dan berdampak langsung ke masyarakat, terutama kelompok rentan.
Ketua Kajian Sound Horeg MUI Jember, Moh. Lutfi Nurcahyono, menjelaskan, timnya telah turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengukuran dengan alat khusus pengukur suara.
Hasilnya cukup mengejutkan. Volume suara sound horeg bahkan tembus hingga 130 desibel, jauh melampaui ambang batas maksimal 85 desibel.
“Semakin malam, suaranya justru makin keras. Bahkan kami temukan ada yang menggelar sound horeg hanya lima meter dari masjid dan dekat sekolah,” ujar Lutfi, Rabu (9/7/25).
Kajian yang dilakukan sepanjang selama sebulan penuh ini melibatkan 50 lebih responden dari berbagai kecamatan di Jember. Warga mengaku terganggu, dan beberapa di antaranya harus mengungsi karena tidak tahan dengan suara bising dan getaran yang ditimbulkan.
Di wilayah Desa Jatimulya, Kecamatan Jenggawah, misalnya. Seorang lansia dipindahkan dari rumah karena tidak kuat dengan dentuman musik yang terus-menerus terdengar.
Bahkan, kaca dan genting rumah dilaporkan retak akibat getaran dari sound system berdaya besar yang berlangsung di wilayah itu.
Tak hanya soal kebisingan, MUI Jember juga menyoroti dampak sosial dari sound horeg. Anak-anak, ibu hamil, hingga lansia jadi kelompok yang paling terdampak.
“Ini bukan sekadar hiburan. Kalau sudah mengganggu kesehatan dan kenyamanan, harus ada aturan tegas,” tambahnya.
Dari temuan tersebut, MUI Jember mendorong pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret, seperti menerbitkan surat edaran bupati atau membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang ketertiban umum terkait sound horeg.
Lutfi menekankan pentingnya dialog antara semua pihak, termasuk pemerintah daerah, tokoh agama, pelaku hiburan, ormas, dan masyarakat.
“Solusi tidak boleh berat sebelah. Harus ada ruang musyawarah agar aturan yang dibuat bisa diterima semua kalangan,” tekannya.
Kajian ini menjadi landasan penting bagi MUI Jember yang tengah menanti hasil sidang fatwa dari MUI Jawa Timur. Jika disetujui, bukan tidak mungkin akan muncul fatwa resmi di tingkat kabupaten.
“Fatwa tidak bisa asal terbit. Harus lewat riset, kajian, dan masukan dari berbagai pihak. Kita tunggu hasil sidang dari MUI Jatim,” tutupnya. (*)
Editor: Mohammad S
Publisher: Keyra