Lumajang, – Di kaki Gunung Semeru yang sejuk dan berkabut, suara gemericik air sungai di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, menjadi saksi ketulusan seorang pria bernama Sucipto (61).

Setiap pagi dan sore, tubuhnya yang tak lagi muda masih setia menapaki jalan setapak menuju aliran sungai kecil di belakang rumahnya. Di sanalah sumber cahaya bagi ratusan rumah di desanya berasal, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) hasil karyanya sendiri.

Tiga dekade lalu, Kajar Kuning hanyalah dusun gelap di lereng Mahameru. Saat matahari tenggelam, hanya pelita minyak tanah yang menerangi rumah warga, itu pun dengan cahaya temaram yang tak cukup untuk membaca. Namun, Sucipto tak mau pasrah pada keadaan.

“Air itu sumber kehidupan. Kalau bisa menghidupi alam, harusnya juga bisa menghidupi manusia,” katanya lirih, Senin (10/11/25).

Berbekal ilmu teknik mesin yang ia peroleh saat kuliah di IKIP PGRI Malang (kini Universitas Negeri Malang), Sucipto mulai bereksperimen.

Advertisement

Ia membuat turbin sederhana dari besi bekas dan merakit generator dengan peralatan seadanya di bengkel kecil di belakang rumah. Dari sungai yang mengalir di dekat pekarangan, ia menyalurkan kebaikan dalam bentuk energi listrik.

Kini, 116 rumah di Dusun Kajar Kuning menikmati terang dari aliran sungai itu. Anak-anak tak lagi belajar di bawah cahaya minyak, dan para orang tua tak perlu berburu minyak tanah menjelang malam.

“Saya pikir kalau punya uang untuk beli mobil, yang naik cuma keluarga saya. Tapi kalau untuk bikin mikrohidro, yang merasakan manfaatnya satu kampung,” katanya sambil tersenyum di tengah riuh suara turbin.

Namun, menjaga aliran listrik dari sungai bukan perkara mudah. Setiap hari, Sucipto harus memastikan tak ada sampah atau ranting yang menyumbat turbin.

Saat musim hujan, ia berjibaku dengan arus deras dan endapan lumpur; sementara di musim kemarau, ia cemas karena debit air menyusut sehingga tegangan listrik tak stabil.

“Kalau malam hujan besar, saya sering tidak tidur. Pagi-pagi langsung ke sungai, takut ada yang tersumbat,” ceritanya.

Di usianya yang tak muda lagi, ia tak pernah mengeluh. Dengan sandal jepit dan sarung yang dililit di pinggang, Sucipto tetap berkeliling memastikan listrik di kampungnya menyala.

Beberapa warga yang peduli kadang ikut membantu, tapi kebanyakan percaya penuh pada tangan tua yang tak kenal lelah itu.

Menjadi orang baik memang tak selalu mudah. Tak jarang Sucipto harus menerima keluhan hingga makian ketika listrik tiba-tiba padam.

“Kadang ibu-ibu marah-marah karena lampu mati. Biasanya saya langsung lari ke sungai, periksa turbin. Kalau mati berarti ada yang nyumbat,” jelasnya.

Pernah pula, karena salah paham, warga sampai membakar pembangkit listrik buatannya. Saat itu Sucipto mencoba menerapkan sistem pembayaran dan pemasangan KWh meter agar listrik digunakan lebih bijak. Namun, keputusan itu justru memicu amarah warga.

“Ya salah saya juga, waktu itu pas mau hari raya. Saya matikan aliran listrik karena banyak yang belum bayar. Malamnya dibakar orang,” kenangnya tanpa nada dendam.

Bukannya menyerah, ia justru memperbaikinya lagi dari awal. Dengan sisa-sisa peralatan dan dukungan segelintir warga, ia bangkit dan menghidupkan kembali listrik mikrohidro itu.

“Kalau berhenti, berarti saya egois. Padahal ini untuk semua,” katanya pelan.

Ketulusan dan kerja kerasnya kini berbuah penghargaan. Dari bengkel sederhana di belakang rumah, Sucipto telah membuat lebih dari 180 unit PLTMH untuk berbagai daerah di Indonesia, dari Banyuwangi hingga Papua.

Atas jasanya, ia menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai perintis lingkungan.

Kini, meski listrik PLN sudah masuk ke desa, PLTMH buatan Sucipto tetap hidup, menjadi cadangan saat listrik utama padam, dan menjadi simbol kemandirian warga. Bagi Sucipto, selama air di sungai itu masih mengalir, kebaikan pun harus tetap mengalir bersamanya.

“Air tidak pernah berhenti memberi. Selama masih ada yang butuh terang, saya akan terus menjaganya,” ucapnya.

Bagi warga, terutama mereka yang sejak awal menikmati listrik dari tangan Sucipto, sosoknya bukan sekadar pembuat pembangkit. Ia adalah penjaga terang.

“Dari dulu saya pakai listrik dari PLTMH-nya Pak Cip. Kadang mati, tapi kami maklum, karena beliau rawat sendiri,” tutur Sugiyati, warga setempat. (*)

Editor: Ikhsan Mahmudi

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.