Lumajang, – Santo (43), warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, melihat realitas penggunaan sound horeg atau sound system bervolume tinggi yang kini tengah jadi perdebatan di Kabupaten Lumajang.
Baginya, dentuman keras bukan sekadar gangguan. Itu tanda bahwa desa sedang hidup, bahwa warga sedang bersuka cita.
Namun, bagi sebagian lainnya, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang, suara memekakkan telinga dari sound horeg adalah bentuk kemudaratan. Bahkan, MUI telah mengeluarkan imbauan larangan penggunaannya, menyebutkan bahwa aktivitas ini mengganggu ibadah, ketertiban umum, dan seringkali melibatkan tindakan maksiat.
Tapi larangan itu justru memantik reaksi balik, karnaval demi karnaval tetap digelar di berbagai wilayah desa, dari Pasrujambe hingga Pronojiwo, lengkap dengan sound horeg-nya.
Santo bukan satu-satunya yang mendukung. Linda (36), warga Desa Candipuro, menyebut karnaval dengan sound horeg sebagai “acara sakral tahunan” yang selalu dinanti.
“Saya tunggu satu tahun untuk lihat karnaval. Bukan cuma hiburan, ini juga menggerakkan ekonomi warga,” katanya, Jumat (18/7/25).
Salah satu penyewa sound system lokal, Rofi’i mengaku, sejak adanya momen karnaval, jadwal penyewaan alatnya penuh hingga awal September.
“Kalau dilarang, kami usaha kecil mau makan apa?” katanya.
Namun, tak semua warga sepakat. Ada juga yang mengeluhkan kaca jendela yang bergetar, bayi yang sulit tidur, hingga suara azan yang tertutup dentuman remix koplo.
Murni (50), warga Desa Candipuro menyampaikan, keresahannya, kalau dirinya merasa sulit tidur ketika ada suara keras dari suara sound horeg.
“Kami nggak anti hiburan. Tapi kadang main musik dari jam 2 siang sampai malam. Anak saya belajar pun terganggu,” katanya.
Tapi ketika ditanya apakah setuju dengan larangan total seperti yang diserukan MUI, ia menggeleng.
“Bukan dilarang, tapi dibatasi. Jangan terus dilarang, warga nanti malah marah,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Lumajang, KH. Achmad Hanif menyampaikan, pentingnya solidaritas dan kesatuan sikap antar-daerah dalam menyikapi Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2025, tentang penggunaan Sound Horeg.
Hal itu ia sampaikan, untuk menyikapi fenomena sound horeg yang akhir-akhir ini menimbulkan keresahan di masyarakat.
Meskipun fatwa tersebut telah dikeluarkan secara nasional, KH. Hanif menegaskan, bahwa saat ini masih dalam tahap diskusi terbuka di tingkat daerah dan belum bersifat final atau mengikat.
“Baru saja terjadi diskusi, dan alhamdulillah berlangsung dengan bagus. Kita semuanya diminta untuk bisa menyikapi secara proposional. Belum ada keputusan final, ini baru diskusi saja,” kata KH. Hanif kepada awak media, usai melakukan pertemuan dengan Bupati Lumajang, Kamis (17/7/25). (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra