Lumajang, – Moch. Maulana Malik Ibrahim (32), termasuk petani milenial ubi jalar asli Kabupaten Lumajang. Ia berhasil menjual (mengekspor) hasil panennya ke Singapura, China dan Thailand.
Maulana sendiri berasal dari Desa Tekung, Kecamatan Tekung, Kabupaten Lumajang, sudah menekuni lima tahun menjadi petani ubi jalar.
Kata Maulana, sejak lima tahun dirinya sudah menggeluti pekerjaan yang terbilang tidak mudah dilakukan oleh seorang anak muda. Namun, siapa sangka dari perjalanan lima tahun hingga pada saat ini, akhirnya bisa mengekspor ubi jalar ke manca negara.
Menurutnya ia sempat mengalami kegagalan. Walaupun kemudian dari kegagalan tersebut ia belajar dan berhasil. Hingga kemudian banyak eksportir yang menghubunginya.
“Dulunya saya sempat mengalami kegagalan dalam melakukan penanaman ubi jalar, namun saya tidak berhenti sampai di situ. Saya terus berusaha hingga pada akhirnya sampai dengan sekarang ini,” kata Maulana, Senin (15/12/24).
Saat ini, kata dia, dirinya mampu mengekspor ubi jalar ke tiga negara dengan jumlah 20 ton.
Ia mengaku, dari 20 ton ubi yang dibutuhkannya bisa tercukupi, namun dirinya mengambil ubi dari berbagai Kabupaten di Jawa Timur (Jatim).
“Per hari sekali kirim 20 ton. Saya juga ambil ubi jalar dari Blitar, Malang, Probolinggo, Kedungjajang (Lumajang), Jember, Bondowoso, hingga Banyuwangi. Semua jenis tela,” katanya.
Meski mengambil ubi jalar dari berbagai daerah di Jatim, dirinya mengaku tidak sanggup kalau per hari mengekspor 20 ton. Hal itu dikarenakan, pasokan ubi jalar diberbagai daerah tidak banyak.
“Permintaan ekspor setiap hari 20 ton, tapi saya hanya sanggup satu minggu dua kali,” jelasnya.
Meski begitu, ubi jalar yang mau diekspor harus melalui penyortiran terlebih dahulu. Sebab, jika ingin mengekspor ubi jalar, barangnya harus benar-benar mulus dan sesuai dengan permintaan konsumen.
“Kalau mau ekspor ubi jalar nya, ubinya harus dicuci bersih. Beda dengan kalau dijual di pasar lokal, meski gak dicuci tidak masalah. Namun, kalau dijual di pasar harganya Rp800-1.000 rupiah per kilonya,” kata dia.
Sementara untuk ekspor, tambah dia, harganya jauh lebih mahal dibanding dijual secara lokal.
“Kalau diekspor harganya mencapai Rp5-6 ribu per kilonya. Banyangkan saja kalau sampai satu minggu bisa mengirim 40 ton, pendapatnya sudah luar biasa. Per bulan omset bersihnya mencapai Rp100 juta,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra