Lumajang, – Pada malam terakhir acara Piodalan, dipentaskan Calon Arang yang digelar di pelataran suci Pura Mandhara Giri Semeru Agung. Ribuan umat Hindu dari berbagai penjuru Bali dan Jawa memadati lokasi.
Namun lebih dari sekadar sebuah pertunjukan seni, kisah Calon Arang yang dibawakan oleh seniman dari Ubud, Bali, menjadi panggung filsafat hidup menyuarakan nilai-nilai dharma dalam balutan drama tradisional.
Calon Arang, tokoh yang kerap diposisikan sebagai simbol kegelapan dan kemarahan, justru membuka ruang refleksi tentang keseimbangan hidup. Dalam kepercayaan Hindu, kehidupan tak lepas dari dualitas, baik dan buruk, terang dan gelap, suka dan duka.
Namun, dalam pementasan ini, disampaikan dengan jelas bagaimanapun kerasnya adharma (kejahatan) berusaha menguasai, dharma (kebaikan) pada akhirnya akan menang kebaikan.
“Ini bukan sekadar tontonan. Ini tuntunan. Kita diajak merenung. Di kehidupan nyata pun, kita selalu diuji. Tapi dharma harus jadi pegangan,” kata pengurus harian Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Wira Dharma, Minggu (20/7/25) malam.
Sebelum pementasan dimulai, kata dia, diadakan serangkaian ritual persembahyangan yang mengundang restu dari sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia tak kasat mata).
Ini juga menegaskan, dalam tradisi Hindu, segala sesuatu yang dilakukan, sekecil apapun, selalu melibatkan unsur spiritual sebagai dasar pelaksanaannya.
“Seni bukan hanya untuk dilihat, tapi juga untuk disucikan. Karena apa yang kita tampilkan adalah representasi dari kehidupan dan ajaran suci,” katanya.
Menariknya, meskipun Calon Arang dikenal sebagai tokoh jahat, kehadirannya justru memancing kemunculan tokoh-tokoh dharma seperti Mpu Baradah. “Dalam penggambaran klasik, konflik yang ia timbulkan justru menjadi jalan bagi keseimbangan untuk ditegakkan kembali,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra