Probolinggo,– Memasuki pertengahan 2025, angka perceraian di Kabupaten Probolinggo mencatat tren yang cukup mencengangkan. Tak tanggung-tanggung, angkanya hampir mencapai seribu kasus.
Berdasarkan data dari Pengadilan Agama (PA) Kraksaan, sebanyak 999 perkara perceraian telah dikabulkan sepanjang Januari – Juni. Jumlah ini merupakan bagian dari total 1.238 perkara yang telah didaftarkan ke PA Kraksaan.
Dari keseluruhan perkara yang dikabulkan, mayoritas merupakan cerai gugat atau gugatan cerai yang diajukan oleh pihak istri dengan jumlah mencapai 743 perkara. Sementara itu, 256 perkara lainnya merupakan cerai talak yang diajukan oleh pihak suami.
Panitera Muda Hukum PA Kraksaan, Akhmad Faruq mengatakan, sebagian besar perkara telah melalui proses persidangan dan diputus oleh majelis hakim, meski masih ada sejumlah perkara yang tengah berproses.
“Selama setengah tahun, total perkara cerai yang masuk ke kami itu ada 1.238. Sebagian besar sudah kami putus, dan sisanya masih dalam tahap persidangan,” kata Faruq, Minggu (6/7/25).
Faruq menjelaskan, faktor ekonomi menjadi penyebab utama dalam sebagian besar perkara perceraian. Ketidakmampuan pasangan dalam menghadapi tekanan hidup, terutama ketika kondisi finansial tidak stabil, kerap memicu pertengkaran yang berujung pada keputusan untuk bercerai.
“Faktor ekonomi menjadi pemicu paling dominan. Banyak pasangan yang tidak mampu bertahan ketika tekanan hidup meningkat, apalagi jika tidak ada komunikasi yang sehat di dalam rumah tangga,” tutur dia.
Selain itu, perselisihan berkepanjangan, ketidaksepahaman dalam menjalani pernikahan, serta adanya pihak ketiga atau perselingkuhan juga menjadi alasan kuat di balik perceraian.
Dalam sejumlah kasus, konflik yang tak kunjung usai membuat salah satu pihak merasa tidak nyaman hingga akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan pernikahan.
Faruq menambahkan, tekanan ekonomi sering kali menjadi akar dari berbagai permasalahan lainnya. Mulai dari pertengkaran kecil yang terus berulang hingga pada akhirnya memicu tindakan tidak setia.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah keuangan tidak hanya berdampak secara materiil, tetapi juga secara emosional dan psikologis dalam hubungan rumah tangga.
“Faktor ekonomi masih menjadi yang paling dominan dalam banyaknya kasus perceraian ini,” tambahnya.
Ia melanjutkan, pihaknya tak tinggal diam dalam menyikapi banyaknya angka perceraian ini. Upaya mediasi terus dilakukan terhadap pasangan yang mengajukan gugatan cerai.
Harapannya, mereka bisa kembali mempertimbangkan keputusan tersebut secara matang. Namun, ia mengakui bahwa tingkat keberhasilan mediasi tergolong rendah.
“Kami selalu berusaha memediasi agar tidak semua berakhir pada perceraian. Tapi kalau salah satu pihak sudah tidak ingin melanjutkan pernikahan, maka kami tidak bisa menolak permohonannya,” jelasnya.
Menurut Faruq, banyak pasangan yang datang ke pengadilan dengan keputusan yang sudah bulat untuk berpisah. Hal ini membuat ruang mediasi menjadi sempit, karena niat untuk memperbaiki hubungan sudah tidak ada sejak awal proses hukum dimulai.
Faruq pun berharap, masyarakat harus bisa memandang pernikahan sebagai sebuah komitmen jangka panjang yang membutuhkan kesiapan mental, ekonomi, dan emosional.
Ia menekankan bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kerja sama dan tanggung jawab bersama.
“Kami berharap masyarakat bisa menjadikan pernikahan sebagai ikatan yang dijaga bersama. Jika ada masalah, komunikasikan dan carilah solusi bersama. Perceraian seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan pilihan utama ketika menghadapi masalah,” ia memungkasi. (*)
Editor: Mohammad S
Publisher: Keyra