Probolinggo,- Ketidakmerataan distribusi pupuk menjadi masalah serius bagi petani di kawasan lereng Bromo, tepatnya wilayah Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Kepala Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Sunaryono mengatakan para petani Tengger menghindari penggunaan pestisida dan fungisida secara berlebihan.
Tujuannya, agar kesuburan tanah terjaga dan fauna tanah tidak mati. Pola tanam ini sudah berlangsung turun temurun.
“Pola tanam ini kami lakukan agar anak cucu kami dapat menikmati tanah yang diwariskan leluhur,” kata Sunaryono, Jum’at (13/6/25).
Namun, pola tanam ala Suku Tengger ini justru menemui kendala, yakni ketersediaan pupuk bersubsidi yang distribusinya terbatas dan harga jual lumayan tinggi.
“Untuk keterbatasan pasokan pupuk sudah saya sampaikan ke Bupati Probolinggo. Semoga ada kebijakan sehingga pupuk subsidi dapat dirasakan secara merata oleh petani,” imbuhnya.
Bupati Probolinggo, Gus dr. Muhammad Haris menyebut, pupuk subsidi dialokasikan untuk komoditi tertentu, seperti padi dan jagung. Sedangkan komoditi khas daerah pegunungan, tidak dapat mendapatkan pupuk subsidi.
“Jadi kami akan mencari solusi dan berupaya agar petani warga pegunungan mendapat pupuk subsidi secara merata. Seperti tanaman tembakau yang akhirnya mendapat pupuk subsidi melalui dana DBCHT,” kata Gus Haris.
Sekedar informasi, Harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi di Probolinggo, seperti di wilayah Jawa Timur lainnya, ditetapkan oleh pemerintah. Untuk pupuk Urea, HET-nya adalah Rp 2.250 per kilogram. Untuk pupuk NPK, HET-nya Rp 2.300 per kilogram.
Adapun HET pupuk bersubsidi yang berlaku di Indonesia, yakni Pupuk Urea: Rp 2.250 per kilogram; Pupuk NPK: Rp 2.300 per kilogram; Pupuk NPK untuk kakao: Rp 3.300 per kilogram; dan Pupuk Organik: Rp 800 per kilogram.
Perlu diingat bahwa harga yang dijual di lapangan bisa saja lebih tinggi dari HET, terutama jika penjual adalah kios nakal yang menjual pupuk bersubsidi di atas harga yang seharusnya. (*)
Editor : Mohammad S
Publisher : Keyra