Menu

Mode Gelap
Janda di Pasuruan Ditemukan Tewas Bersimbah Darah di Rumahnya Pedang Pora Sambut Kedatangan AKBP M. Wahyudin Latif di Polres Probolinggo Warga Kupang NTT Ditemukan Meninggal di Kamar Hotel Jember, ini Dugaan Penyebabnya Infrastruktur Belum Siap, Lumajang Absen dari Peluncuran Serentak Sekolah Rakyat Belum Ditemukan, Keluarga Korban Perahu Terbalik di Lekok Masih Berharap Korban Selamat Pendaki Muda Hilang Setelah Bertingkah Aneh, Ditemukan Lemas di Lereng Gunung Lemongan

Lingkungan · 28 Mei 2025 15:59 WIB

Inovasi Desa Purworejo Lumajang Ubah Sampah Organik Jadi Makanan Magot Bernilai Ekonomis Tinggi


					Desa Purworejo, Kecamatan Senduro,  Kabupaten Lumajang mengolah sampah organik yang ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomi. (Foto: Asmadi).
Perbesar

Desa Purworejo, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang mengolah sampah organik yang ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomi. (Foto: Asmadi).

Lumajang, – Desa Purworejo, Kecamatan Senduro,  Kabupaten Lumajang, kini menjadi contoh inspiratif dalam pengelolaan sampah organik yang ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomi.

Melalui program pengolahan sampah organik menjadi makanan magot (larva lalat tentara hitam), desa ini berhasil mengurangi limbah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Lempeni secara signifikan, sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi warga setempat.

Kepala Desa Purworejo, Mokhamad Nyono mengatakan, sampah organik selama ini menjadi salah satu masalah lingkungan yang cukup serius, terutama di daerah pedesaan yang memiliki aktivitas pertanian dan peternakan.

Desa Lempeni, yang menjadi lokasi TPA utama di wilayah ini, kerap menerima tumpukan sampah yang tidak terkelola dengan baik. Kondisi ini mendorong warga dan pemerintah Desa Purworejo untuk mencari solusi inovatif agar limbah organik bisa dikelola secara efektif dan bermanfaat.

“Magot itu adalah hasil pengolahan sampah organik yang kami lakukan. Sampah organik seperti daun-daunan dan sampah basah kami olah menjadi makanan magot. Setelah itu, residu yang tersisa baru kami buang ke TPA Lempeni. Dengan cara ini, kami bisa meminimalkan sampah,” kata Nyono, Rabu (28/5/25).

Kata dia, magot yang dihasilkan dari proses pengolahan sampah organik ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, terutama bagi peternak di sekitar desa.

Desa Purworejo sendiri memiliki dua peternak utama yaitu, peternak ayam petelur dan peternak lele, yang sangat membutuhkan magot sebagai pakan alternatif yang kaya protein.

“Kami memanfaatkan sampah menjadi berkah. Salah satu solusi terbaik adalah mengubah sampah organik menjadi makanan magot yang kemudian kami pasok ke peternak. Ini adalah bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara pengelola sampah dan peternak,” katanya.

Lanjut dia, pengumpulan sampah organik dilakukan secara rutin setiap hari dengan sistem yang terorganisasi. Sampah diambil dari berbagai sumber, mulai dari perumahan warga, rumah warga secara individu, area pertokoan, hingga pasar tradisional.

Sampah plastik dan non-organik dipilah terlebih dahulu untuk dijual kembali sebagai bahan ekonomis. Sementara sampah organik langsung diproses menjadi makanan magot dan pupuk.

“Kami saat ini menjaring sampah dari Desa Purworejo dan Desa Karanganom. Kerja sama dengan kepala desa setempat sangat membantu dalam mengatur pengumpulan sampah. Kami juga sedang berencana memperluas jangkauan pengambilan sampah ke desa-desa tetangga dan pasar-pasar lain,” tambahnya.

Selain itu, program pengolahan sampah ini tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga membuka peluang kerja bagi warga desa. Saat ini, ada empat orang warga yang dipekerjakan secara langsung dalam pengumpulan dan pemilahan sampah.

Dua di antaranya bertugas sebagai driver pengangkut sampah.  Sementara dua lainnya fokus pada pemilahan sampah organik dan non-organik.

“Dengan program ini, kami berharap bisa menambah tenaga kerja seiring dengan perluasan area pengumpulan sampah. Ini menjadi kesempatan bagi warga untuk mendapatkan penghasilan tambahan sekaligus berkontribusi menjaga kebersihan lingkungan,” jelasnya.

Selain itu, magot yang dihasilkan dijual kepada peternak dengan harga yang cukup terjangkau, sekitar Rp20.000 per kilogram.

“Dengan harga yang kompetitif, kami berharap produk magot ini bisa terus diminati dan menjadi solusi berkelanjutan bagi peternak di wilayah ini,” pungkasnya. (*)

 


Editor: Ikhsan Mahmudi

Publisher: Keyra


Artikel ini telah dibaca 34 kali

badge-check

Reporter

Baca Lainnya

GOR A. Yani Kota Probolinggo Dirancang jadi Sentra Kuliner, Libatkan 117 PKL

26 Juni 2025 - 17:45 WIB

Tata Ulang Kota, Pemkot Probolinggo Mulai Bongkar Bedak GOR A. Yani

21 Juni 2025 - 20:52 WIB

Abrasi Jebol Gedung Sekolah, Gubernur Khofifah Bangun Bronjong di Kali Kertosono

19 Juni 2025 - 17:11 WIB

Pasca Yadnya Kasada, Polres Probolinggo Kerahkan Personel Bersih-bersih Bromo

14 Juni 2025 - 20:35 WIB

Lahan Pertanian di Lereng Bromo Jarang Tersentuh Pupuk Subsidi, Pemkab Probolinggo Cari Solusi

13 Juni 2025 - 19:16 WIB

Pasca Yadnya Kasada, Satu Ton Sampah Berserakan di Kawasan Bromo

12 Juni 2025 - 16:20 WIB

Gunung Raung Erupsi, Kolom Abu Setinggi 750 Meter

11 Juni 2025 - 16:19 WIB

Dinilai Rusak Lingkungan, DPRD Jember Desak Operasional Perusahaan Tambak Dihentikan

27 Mei 2025 - 18:07 WIB

Cuaca Ekstrem Hambat Perbaikan Tanggul Kebondeli, Pemerintah Prioritaskan Keselamatan Warga

25 Mei 2025 - 18:47 WIB

Trending di Lingkungan