Lumajang, – Di tengah hamparan debu yang belum benar-benar surut dan langit yang masih kelabu, Ibu Ngasini, 40 tahun, berdiri sambil menahan tangis.
Rumah yang ia bangun selama puluhan tahun lenyap dalam hitungan jam diterjang awan panas Semeru. Kini, yang tersisa hanyalah pakaian di tubuhnya dan kenangan yang hangus bersama dinding rumahnya.
Dengan suara bergetar, ia menceritakan detik-detik saat abu panas mulai menyapu desanya. “Saya cuma lari… lari sekuat tenaga. Tidak sempat bawa apa pun,” katanya, Senin (1/12/2025).
Tempat ia membesarkan anak-anak, tempat ia menyimpan cerita hidup, hilang tanpa sisa.
Di sampingnya berdiri Ratih Damayanti, anggota DPRD Lumajang dari Fraksi PDI Perjuangan, yang datang tanpa membawa formalitas jabatan.
Ratih mendengarkan setiap cerita dengan mata berkaca-kaca, hingga akhirnya merengkuh Ibu Ngasini dalam pelukan hangat. Pelukan itu seolah menguatkan perempuan yang kehilangan segalanya dalam sekejap.
“Semua hilang… tapi saya masih bersyukur bisa hidup,” ucap Ngasini.
Para relawan yang semula sibuk pun memperlambat langkah, terdiam menyaksikan dua perempuan yang larut dalam duka yang sama.
Awan panas Semeru bukan hanya meruntuhkan rumah-rumah, tetapi juga merenggut rasa aman dan menyisakan luka mendalam. Namun di balik debu dan air mata, hadir pula kekuatan, kekuatan untuk bertahan, untuk saling menguatkan.
“Saya tidak ingin ada warga yang menangis sendirian, saya datang ke sini merasakan semua penderitaan kalian semua,” bisik Ratih sambil mengencangkan pelukannya. (*)













