Lumajang, – Awan Panas Guguran (APG) yang kembali dimuntahkan Gunung Semeru pada Rabu (19/11/25) lalu meninggalkan duka mendalam bagi warga Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro.
Di Dusun Kajar Kuning, masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup pada pertanian kini harus menghadapi kenyataan pahit, ladang mereka berubah total dalam hitungan jam.
Salah satu petani, Muhammad Hamid, berdiri memandangi lahannya yang kini tertutup material vulkanik tebal. Hamid menuturkan, bahwa sekitar 50 hektare lahan miliknya dan keluarganya tidak lagi dapat diselamatkan.
Tanaman palawija yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama, seperti cabai dan tomat, layu dan tertimbun abu.
“Perkiraan kami sekitar 50 hektare lahan sudah tidak bisa diselamatkan. Yang paling menyakitkan, tanaman itu sebenarnya sudah hampir panen. Modal yang kami keluarkan belum tentu kembali,” kata Hamid, Minggu (23/11/2025).
Hamid bercerita saat APG turun dari puncak Semeru, ia dan keluarganya langsung mengungsi untuk menghindari bahaya. Ketika kembali, mereka menemukan ladang yang biasanya hijau dan subur telah berubah menjadi hamparan kelabu.
Tidak ada lagi harapan panen, sebagian besar tanaman mati, tertimbun material vulkanik, dan kehilangan nilai ekonomis.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kerusakan lahan pertanian di wilayah itu terlihat memprihatinkan.
Tanaman nyaris tidak lagi bisa dikenali, batang-batangnya menghitam, sementara lapisan abu menutup tanah hingga beberapa sentimeter. Hamid menyebut bahwa kerusakan tahun ini tampak jauh lebih besar dibandingkan erupsi tahun 2021.
“Dampaknya sekarang jauh lebih luas dibanding tahun 2021. Banyak tetangga kami yang juga kehilangan lahan,” katanya.
Ia memperkirakan ratusan hektare lahan milik warga lain turut terdampak dan jumlah itu kemungkinan bertambah setelah pengecekan detail dilakukan.
Di tengah kondisi yang tidak menentu, warga setempat masih berupaya menyelamatkan tanaman yang mungkin bisa dipanen. Namun harapan itu tampak tipis. Abu vulkanik yang menutup tanaman membuat sebagian besar hasil pertanian tidak dapat bertahan lama.
Bagi Hamid dan petani lainnya, kerugian ini bukan sekadar laporan angka. Ini adalah pukulan terhadap mata pencaharian, harapan, dan masa depan keluarga. Meski demikian, mereka tetap berusaha bertahan dan menata ulang kehidupan sambil menunggu bantuan dan pemulihan dari pemerintah serta berbagai pihak.
“Yang penting sekarang kami selamat. Ladang bisa dicari lagi, tapi keluarga tidak bisa digantikan,” pungkasnya. (*)













