Lumajang, – Sungai Asem di Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu aliran air alami yang menopang sistem drainase utama di wilayah perkotaan Lumajang. Namun dalam beberapa tahun terakhir, aliran itu seolah lenyap.
Sebagian besar lahan yang dulunya menjadi badan sungai kini telah berubah menjadi petak-petak tanah kavling, siap dijual dan dibangun rumah.
Tak main-main, luas lahan yang diduga beralih fungsi mencapai 9.600 meter persegi. Padahal, lahan itu merupakan aset milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang semestinya tak bisa diperjualbelikan, apalagi dimiliki secara pribadi.
Berdasarkan informasi di lapangan, proses pengalihfungsian lahan terjadi secara perlahan dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun terakhir.
Awalnya, permukaan sungai mulai tertutup oleh endapan dan sampah. Lambat laun, pendangkalan berubah menjadi daratan, dan wilayah yang dulunya dilewati aliran air kini mengering total.
Beberapa warga sekitar menyebut, ada aktivitas penimbunan yang dilakukan secara bertahap, dengan membawa material tanah untuk memperkuat daratan. Setelah cukup padat, lahan tersebut mulai diplot menjadi kavling, lengkap dengan jalan cor dan pembatas kavling yang mengindikasikan niat komersialisasi.
“Awalnya kami kira itu urusan pemda, mungkin mau normalisasi atau pelebaran jalan. Tapi ternyata malah dijadikan kavling,” kata Satuman, Senin (4/8/25).
Menanggapi hal itu, Kejaksaan Negeri Lumajang telah mengantongi beberapa nama yang diduga terlibat dalam proses pengalihan fungsi lahan ini. Salah satunya adalah pihak yang mengajukan permohonan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lumajang.
Kasi Pidana Khusus Kejari Lumajang, Muhammad Nizar menjelaskan, bahwa baru tiga sertifikat tanah yang telah diterbitkan atas lahan tersebut.
“Sisanya belum bersertifikat, namun kavling-kavlingnya sudah dipetakan dan siap dijual,” ujarnya.
Pihak kejaksaan kini menelusuri siapa yang memulai proses penimbunan lahan, siapa yang menyusun dokumen permohonan hak milik, dan apakah ada aparat pemerintah setempat yang memfasilitasi proses tersebut.
“Termasuk kami telusuri apakah ada pengajuan melalui pemerintah desa, pihak kecamatan, hingga keterlibatan oknum dari BPN sendiri,” tambah Nizar. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra