Probolinggo,-Siapa yang tidak mengenal KH. Hafidzul Hakiem Noer, atau akrab disapa Gus Hafid. Sosok kharismatik kelahiran 20 Januari 1985 ini dikenal luas sebagai Khodimul Majelis Syubbanul Muslimin, sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Nurul Qodim, Kalikajar, Paiton, Kabupaten Probolinggo.
Lahir dari pasangan KH. Nuruddin dan Hj. Umi Salamah, Gus Hafid tumbuh di lingkungan pesantren sejak kecil. Ia dibesarkan dengan nasihat luhur sang abah:
“Dua hal yang harus dijaga: ilmu dan istiqamah dalam ibadah. Dunia bisa hilang, tapi jika dua ini dimiliki, insyaAllah selamat dunia akhirat.” Pesan itu menjadi bekal perjalanan panjangnya dalam menuntut ilmu dan berdakwah.
Jalan Panjang Menuntut Ilmu
Setelah menamatkan pendidikan dasar di MI Nurul Qur’an, Gus Hafid bertekad memperdalam ilmu agama. Ia kemudian mondok di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri (1996–2005), tempat ia menyelesaikan pendidikan MTs dan MA.
Tak berhenti di situ, haus akan ilmu membawanya ke Rubaath Tarim, Hadramaut, Yaman (2006–2009). Di sana ia berguru langsung kepada ulama besar seperti Habib Salim Al Assyatiri.
Kala itu, gurunya berpesan agar Gus Hafid terus berdakwah di manapun berada, karena dakwah adalah pondasi tegaknya Islam.
Setahun silam ia baru selesai menempuh studi magister di Universitas Islam Malang. Dengan perpaduan tradisi pesantren dan pendidikan akademik, Gus Hafid hadir sebagai dai muda dengan pemikiran moderat dan gaya dakwah yang dekat dengan generasi milenial.
Syubbanul Muslimin: Dakwah Melalui Shalawat
Melalui Majelis Syubbanul Muslimin, Gus Hafid menemukan jalan dakwah yang unik: merangkul pemuda dengan shalawat dan lantunan lagu religi.
Majelis ini kini dikenal luas, dengan jangkauan dakwah yang menembus seluruh provinsi di Indonesia, bahkan hingga luar negeri – seperti China, Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan.
Tak hanya berdakwah secara langsung, Syubbanul Muslimin juga memanfaatkan media digital. Channel YouTube resmi majelis ini bahkan memiliki lebih dari 3 juta subscribers, dengan pendapatan yang digunakan sepenuhnya untuk keberlangsungan majelis dan kegiatan syiar.
“Banyak pemuda yang awalnya jauh dari agama, pelan-pelan kembali mendekat lewat majelis ini. Prinsip kami sederhana: kenalkan, cintakan, lalu arahkan. Itu lebih efektif daripada dakwah yang mudah menghakimi,” tutur Gus Hafid yang juga hobi gowes dan motor trail.
Restu Para Kiai dan Kiprah di NU
Gus Hafid mendapat dorongan para kiai sepuh Probolinggo untuk berkhidmat menahkodai PCNU Kota Kraksaan. Ia mendapatkan dukungan dan doa dari KH. Zuhri Zaini (Pengasuh Ponpes Nurul Jadid) serta KH. Hasan Mutawakkil Alallah (Pengasuh Ponpes Zainul Hasan Genggong).
Satu tahun silam, ia bahkan mendapat dorongan langsung dari Gus Atok, putra KH. Anwar Manshur Lirboyo.
Di organisasi ke-NU-an, Gus Hafid aktif sebagai pengurus MWCNU Paiton, Wakil Ketua LDNU Kraksaan, dan Bendahara PW Rijalul Anshor Jawa Timur.
Semua itu menambah kuat rekam jejaknya sebagai kader NU yang matang dalam pengalaman dan pengabdian.
Harapan Baru untuk NU Kraksaan
Dengan bekal ilmu, pengalaman dakwah nasional-internasional, serta restu para kiai besar, nama Gus Hafid kini disebut-sebut sebagai salah satu figur muda yang potensial memimpin PCNU Kraksaan.
Namun, bagi Gus Hafid, semua perjalanan ini bukan tentang jabatan, melainkan tentang khidmah kepada warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin.
“NU adalah rumah kita bersama. Saya hanya ingin terus berkhidmah, melanjutkan pesan guru-guru dan abah saya: menjaga ilmu dan istiqamah dalam ibadah,” pungkasnya. (*)
Editor: Mohammad S
Publisher: Keyra