Lumajang, – Di kaki Gunung Semeru, tepatnya di Desa Kandangtepus, Kecamatan Senduro, Lumajang kehidupan berjalan sederhana. Angin pegunungan menyapu hamparan kebun pisang yang tumbuh subur di antara rumah-rumah warga.
Namun siapa sangka, dari desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota ini, lahir inovasi yang tak hanya mengubah nasib keluarga, tapi juga menembus pasar nasional. Inovasi itu berbentuk selembar kertas bukan sembarang kertas, melainkan kertas berbahan dasar pelepah pisang.
Bermula dari tumpukan pelepah pisang kering yang dulunya hanya dibakar atau dibiarkan membusuk, kini puluhan ibu rumah tangga di desa ini mengolahnya menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
Mereka adalah para penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sebelumnya hanya mengandalkan bantuan untuk bertahan hidup.
Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Desa Kandangtepus, Siti Rohmah, mengenang awal mula inisiatif ini.
“Waktu itu kami bingung, setelah menerima bantuan, apa selanjutnya? Ketika Dinas Sosial menawarkan pelatihan keterampilan, kami tertarik. Bahannya juga mudah didapat, pelepah pisang di sini sangat melimpah,” kata Siti Senin (18/8/25).
Melalui pelatihan dari Dinas Sosial dan pendampingan intensif, ibu-ibu ini mulai mempelajari proses mengolah pelepah pisang menjadi lembaran kertas.
Dari mencari pelepah di kebun, menjemur, merendam dalam air panas, hingga menggilingnya menjadi bubur kertas, semua dilakukan secara manual.
“Kami blender dua kali supaya seratnya halus. Setelah itu dicetak dan dijemur lagi. Hasil akhirnya bisa dijual per lembar, atau kami olah jadi paper bag, kotak tisu, bahkan kemasan produk,” jelas Siti.
Dalam waktu kurang dari dua tahun, hasil karya ibu-ibu Pokmas Desa Kandangtepus telah menarik perhatian hingga ke Jakarta. Sebuah perusahaan swasta di ibukota secara rutin memesan kertas dari mereka untuk kebutuhan kemasan produk.
“Awalnya kami kirim contoh saja. Eh, ternyata cocok. Sekarang kami rutin kirim 300 sampai 500 lembar sekali pengiriman,” kata Siti.
Harga jualnya berkisar Rp5.000 per lembar, tergantung kualitas dan ketebalan. Sementara produk turunan seperti paper bag dan kotak tisu bisa dijual dengan harga dua hingga tiga kali lipat.
Ini tentu menjadi tambahan penghasilan yang signifikan bagi para keluarga, terutama di tengah fluktuasi harga pangan dan kebutuhan harian yang terus meningkat.
Di balik keberhasilan ini, ada kekuatan komunitas yang luar biasa. Pokmas Desa Kandangtepus tak hanya menjadi wadah produksi, tapi juga ruang belajar, berbagi, dan saling mendukung di antara para perempuan desa.
Mereka saling menyemangati saat proses produksi terasa berat, berbagi ide desain, dan bersama-sama menjaga kualitas produk.
“Kami kerja sambil bawa anak-anak. Suasana seperti keluarga. Setiap ada kendala, kami pecahkan sama-sama. Tidak ada yang merasa sendiri,” kata Nur Hasanah, salah satu anggota kelompok.
Menurut Ibnu, pendamping PKH yang terlibat langsung dalam proyek ini, keberhasilan ibu-ibu Kandangtepus tidak terjadi begitu saja. Perlu proses panjang, mulai dari membangun kepercayaan diri para ibu, hingga menghubungkan mereka dengan pasar.
“Banyak yang awalnya tidak percaya diri, merasa tidak punya modal, tidak punya kemampuan. Tugas kami memantik semangat itu. Setelah keterampilan mereka siap, kami bantu akses pasarnya,” jelas Ibnu. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra