Lumajang, – Rencana pemerintah daerah menerapkan opsen pajak sebesar Rp8.750 per ritase pada sektor pertambangan pasir mendapat respons keras dari sejumlah penambang.
Mereka menyatakan keberatan atas tambahan beban pungutan yang dianggap membebani biaya operasional mereka.
Namun, meskipun terjadi protes, Plt. Kabid Perencanaan dan Pengendalian Operasional BPRD Lumajang, Dwi Adi Harnowo mengatakan, kebijakan ini adalah bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang mewajibkan daerah mengenakan opsen sebesar 25% dari pajak terutang atas pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB).
“Opsen ini bukan kebijakan lokal semata, tapi amanat dari pusat yang harus kami jalankan. Kami tidak bisa mengabaikannya,” kata Dwi, Senin (21/7/25).
Untuk diketahui, opsen merupakan mekanisme tambahan pungutan di luar pajak utama. Untuk pajak pasir yang sebelumnya dipatok Rp35.000 per rit, maka sesuai ketentuan opsen 25%, semestinya ada tambahan Rp8.750 yang disetorkan sebagai pendapatan provinsi. Dengan demikian, total pajak semestinya mencapai Rp43.750.
Namun, ketika aturan ini mulai disosialisasikan, penambang menyampaikan keberatan. Mereka menilai tambahan opsen sebesar 25% akan langsung menggerus keuntungan, terutama di tengah beban operasional yang tinggi dan fluktuasi harga jual pasir.
Pada akhir 2024, untuk menengahi keberatan penambang, pihaknya sempat mengambil jalan tengah dengan menetapkan tarif Rp35.000 sudah termasuk opsen, yang berarti hanya sebagian dari nilai tersebut yang masuk ke kas daerah.
Namun kebijakan ini dinilai tidak dapat dipertahankan untuk jangka panjang. Akibatnya, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor tambang justru menurun, karena hanya sekitar Rp28.000 per rit yang masuk ke kas daerah, sedangkan sisanya menjadi bagian opsen.
“Kalau kita tetap pakai tarif lama dan tidak akomodasi opsen secara utuh, yang rugi daerah,” katanya.
Sebagai solusi, kata dia, Pemkab Lumajang akhirnya menerapkan rasionalisasi muatan, menaikkan taksiran muatan per rit dari 5 ton menjadi 7,5 ton.
“Dengan tarif Rp7.000 per ton, total pajak menjadi Rp52.500, yang sudah mencakup opsen. Pendekatan ini disebut lebih adil karena mempertahankan tarif per ton, namun memperbesar volume yang dikenakan pajak,” ungkapnya.
Dwi menegaskan, kebijakan ini bukan soal semata-mata menaikkan pendapatan, tetapi tuntutan kepatuhan hukum nasional.
Bila daerah tidak menjalankan ketentuan UU Nomor 1/2022, maka dapat dianggap melanggar ketentuan fiskal nasional, yang berdampak pada alokasi dana transfer pusat ke daerah.
“Kami mengajak penambang untuk memahami bahwa ini bukan sekadar soal tarif. Ini soal bagaimana kita di daerah menjalankan aturan hukum nasional. Kalau kita langgar, konsekuensinya bisa jauh lebih besar,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra