Probolinggo,– Angka perceraian di Kabupaten Probolinggo masih tergolong tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya permohonan perkara cerai yang masuk dan ditangani oleh Pengadilan Agama (PA) Kraksaan sepanjang Mei 2025.
Panitera Muda Hukum PA Kraksaan, Akhmad Faruq, sepanjang Mei 2025, pihaknya telah menerima sebanyak 224 perkara cerai baru.
Dari jumlah tersebut, 158 kasus merupakan cerai gugat yakni gugatan cerai yang diajukan oleh pihak istri. Adapun 66 lainnya merupakan cerai talak, atau permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami.
“Selain permohonan cerai yang masuk pada Mei, kami juga masih menangani sisa perkara dari bulan April yang belum selesai sebanyak 219 perkara. Rinciannya, 150 merupakan perkara cerai gugat dan 69 sisanya cerai talak,” kata Faruq, Selasa (3/6/25).
Dengan demikian, total perkara cerai yang ditangani PA Kraksaan selama Mei mencapai 443 perkara. Dari angka tersebut, perkara cerai gugat tetap mendominasi dengan jumlah 308 kasus, sedangkan cerai talak 135 kasus.
“Jumlah ini menunjukkan bahwa tren cerai gugat masih lebih tinggi dibanding cerai talak. Hal ini cukup konsisten dalam beberapa bulan terakhir,” imbuhnya.
Dari 443 perkara tersebut, sebanyak 202 perkara telah diputus dan dikabulkan oleh majelis hakim PA Kraksaan. Sisanya masih dalam proses persidangan.
Faruq juga mengungkapkan, mayoritas alasan perceraian yang diajukan oleh para pasangan suami istri tersebut dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi.
Selain itu, perselisihan yang terus menerus hingga ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga juga menjadi alasan utama. Bahkan, tidak sedikit perkara perceraian yang dipicu oleh orang ketiga atau perselingkuhan.
“Faktor ekonomi menjadi pemicu paling dominan. Banyak pasangan yang tidak mampu bertahan ketika tekanan hidup meningkat, apalagi jika tidak ada komunikasi yang sehat di dalam rumah tangga,” ujar dia.
Menurutnya, ketidakstabilan ekonomi memicu banyak permasalahan lanjutan, seperti pertengkaran yang berulang hingga membuat salah satu pihak merasa tidak nyaman lagi dalam pernikahan.
Dalam beberapa kasus, tekanan ini juga berujung pada tindakan tidak setia atau perselingkuhan.
PA Kraksaan, imbuh Faruq, terus berupaya memberikan pemahaman hukum serta menawarkan mediasi kepada para pihak yang mengajukan gugatan.
Namun, ia mengakui bahwa tingkat keberhasilan mediasi cenderung rendah karena banyak pihak yang sudah bulat memutuskan untuk bercerai sebelum proses hukum dimulai.
“Kami selalu berusaha memediasi agar tidak semua berakhir pada perceraian. Tapi kalau salah satu pihak sudah tidak ingin melanjutkan pernikahan, maka kami tidak bisa menolak permohonannya,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga kesiapan mental, ekonomi, dan tanggung jawab bersama.
“Kami berharap masyarakat bisa menjadikan pernikahan sebagai ikatan yang dijaga bersama. Jika ada masalah, komunikasikan dan carilah solusi bersama. Perceraian seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan pilihan utama ketika menghadapi masalah,” Faruq memungkasi. (*)
Editor : Mohammad S
Publisher : Keyra