Lumajang, – Pelaksanaan program ketahanan pangan melalui kegiatan Pawon Urip di Desa Wonogriyo, Kecamatan Tekung, Kabupaten Lumajang, menuai persoalan terkait pengelolaan anggaran dan keberlanjutan program.
Meski telah dianggarkan sekitar Rp15 juta melalui musyawarah desa dan dimasukkan dalam APBDes, realisasi dana tersebut dinilai tidak sesuai dengan tujuan awal.
Salah satu warga Desa Wonogriyo, Ronal mengatakan, sumber yang memantau pelaksanaan menyebutkan bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk mendukung ketahanan pangan melalui Pawon Urip justru hanya dipakai untuk membeli sayur-sayuran sekali pakai tanpa adanya tindak lanjut atau pengembangan berkelanjutan.
“Akibatnya, manfaat program bagi masyarakat sangat terbatas dan tidak memberikan dampak jangka panjang. Mirisnya lagi, pihak desa hanya menganggarkan ketika ada penilaian saja, selebihnya ya sudah tidak dihiraukan lagi,” kata Ronal saat dikonfirmasi melalui sambungan teleponnya, Jumat (9/5/25).
Selain itu, pengelolaan dana sekitar Rp70 juta untuk pembangunan kandang dan pengadaan kambing dalam program BUMDes juga menjadi ketimpangan. Sebab, dana yang seharusnya digunakan untuk membangun kandang baru sesuai aturan.
“Namun kenyataannya, Pak Kades beli kandang bekas yang melanggar ketentuan pengelolaan dana desa,” katanya.
Kata dia, pengadaan kambing berjumlah 30-40 ekor, namun tanpa pengelolaan yang baik dan transparan. Sehingga potensi program ini untuk meningkatkan ekonomi desa menjadi diragukan.
“Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai akuntabilitas penggunaan dana desa dan efektivitas program ketahanan pangan yang diusung oleh pemerintah pusat,” kata Ronal.
Diketahui, program swasembada pangan yang menjadi fokus pemerintah pusat dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional di Kabupaten Lumajang menjadi sorotan warga Desa Wonogriyo.
Meskipun berbagai upaya dan dukungan dari pemerintah pusat dan daerah telah digelontorkan, ada indikasi bahwa sebagian pihak di tingkat desa memperlakukan program ini secara tidak serius, bahkan terkesan dijadikan “mainan.”
Beberapa laporan menyebutkan, bahwa dana dan program ketahanan pangan yang seharusnya digunakan untuk mendukung petani dan meningkatkan produksi pangan justru tidak dimanfaatkan secara optimal.
Misalnya, anggaran yang sudah dialokasikan melalui musyawarah desa dan APBDes untuk kegiatan ketahanan pangan terkadang dialihkan atau tidak berkelanjutan, sehingga tidak memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Kondisi ini sangat disayangkan mengingat Lumajang memiliki potensi besar sebagai motor utama swasembada pangan nasional, dengan dukungan nyata dari TNI, Polri, dan pemerintah daerah yang aktif mendampingi petani di lapangan. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Pangan RI pun telah mengapresiasi dan mendorong percepatan program ini di Lumajang.
“Namun, jika pengelolaan di tingkat desa tidak serius dan terkesan main-main, maka target swasembada pangan sulit tercapai dan justru menimbulkan pemborosan anggaran serta kekecewaan masyarakat yang bergantung pada hasil pertanian,” kata Herman warga Desa Wonogriyo.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak staf Desa maupun Kepala Desa Wonogriyo tidak memberikan tanggapan apapun saat dihubungi melalui sambungan teleponnya oleh media ini. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra