Lumajang,  Hari itu seharusnya menjadi sore yang biasa bagi Junaidi (49), warga Dusun Sumber Sari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.

Ia tengah bersantai di rumah seorang tetangganya, sekadar melepas lelah setelah seharian bekerja. Tak ada firasat apa pun yang membuatnya curiga bahwa hidupnya akan berubah dalam hitungan menit.

Suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari kejauhan, mengguncang tanah dan membuat udara pekat dengan bau belerang. Gunung Semeru kembali erupsi dan Junaidi tak punya banyak waktu untuk berpikir.

Bagi banyak orang, sepeda motor mungkin hanyalah benda biasa. Namun bagi Junaidi, Honda Scoopy yang ia beli setahun lalu adalah simbol dari perjuangan panjang yang penuh pengorbanan.

Selama tiga tahun lebih, ia menyisihkan sedikit demi sedikit dari penghasilannya yang tak seberapa. Terkadang ia menahan keinginan membeli hal-hal kecil demi bisa menyisihkan beberapa ribu rupiah.

Advertisement

“Setiap hari saya sisihkan. Kadang dua puluh ribu, kadang lima ribu. Yang penting nabung. Saya pengin punya motor sendiri,” katanya, Kamis (27/11/2025).

Tangis yang tak tumpah terlihat jelas di wajah Junaidi saat ia menceritakan proses panjang itu.

Motor bukan sekadar alat untuk bepergian, tetapi merupakan bukti nyata bahwa kerja kerasnya selama bertahun-tahun tak sia-sia.

Ia bisa pergi bekerja lebih cepat, mengantar keluarga, dan menjalani aktivitas tanpa harus meminjam kendaraan orang lain.

Saat akhirnya uang terkumpul, ia pulang dengan wajah berbinar membawa Scoopy impiannya. “Rasanya bangga banget. Kayak mimpi. Motor itu hasil saya sendiri,” ucapnya.

Sore itu, Junaidi berjalan kaki ke rumah tetangganya. Motornya ia tinggalkan di rumah, diparkir rapi di teras seperti biasa.

Ketika suara letusan terdengar dan langit mulai menghitam, Junaidi panik. Ia tak membawa kendaraan. Tak ada waktu untuk kembali mengambil motornya. Abu mulai jatuh seperti hujan kelabu yang membakar kulit.

Dengan napas terengah dan mata perih, ia berjalan cepat menembus pekatnya debu vulkanik. Warga berteriak saling memperingatkan. Langit gelap. Udara panas. Semua bergerak secepat mungkin untuk menyelamatkan diri.

“Yang ada di pikiran saya cuma satu, selamat. Saya cuma bisa jalan kaki. Abu makin tebal, mata pedih, tapi saya terus jalan,” tuturnya.

Langkah-langkah itu adalah pertarungan antara hidup dan mati. Dalam kekacauan itu, Junaidi tak sempat memikirkan barang-barang di rumah, apalagi motornya. Ia hanya berharap hujan abu segera mereda, dan ia dapat kembali untuk melihat kondisinya.

Setelah situasi mulai aman dan warga diperbolehkan kembali ke rumah, Junaidi berjalan pulang dengan hati yang penuh harap dan cemas. Namun harapan itu runtuh seketika ketika ia tiba di teras rumahnya.

Motor Honda Scoopy yang ia rawat dengan penuh kebanggaan kini tidak lagi berwarna. Seluruh bodinya tertutup abu tebal, beberapa bagian meleleh akibat panas.

Joknya sobek. Kabel-kabelnya gosong. Mesin tak lagi bisa diputar. Motor impiannya itu telah berubah menjadi bangkai yang tak bisa diselamatkan.

“Rusak, sudah nggak bisa dipakai. Abu vulkanik masuk semua. Hasil kerja saya tiga tahun lebih hilang sekejap,” ucap Junaidi menunduk, suaranya bergetar.

Ia mencoba membersihkan abu yang menempel, namun semakin ia usap, semakin jelas terlihat bahwa kerusakan itu tak mungkin dipulihkan.

Seperti melihat kenangan yang remuk, Junaidi hanya bisa duduk terdiam di samping motornya yang kini tak berbentuk.

Bagi Junaidi, kehilangan motor itu bukan sekadar kehilangan harta benda. Di balik motor itu ada keringat, ada pengorbanan, ada mimpi, dan ada kebanggaan yang ia bangun perlahan. Sekarang semuanya hilang tanpa bisa ia cegah.

Ia menceritakan, bahwa motor itu membantunya bekerja lebih cepat, mengantarnya ke ladang, dan bahkan menghemat biaya. Setelah erupsi, kini semuanya kembali seperti dulu, ia harus berjalan kaki atau menumpang.

“Sedih, tapi ya bagaimana lagi. Yang penting saya selamat. Motor bisa dicari lagi kalau ada rezeki,” katanya.

Meski nestapa masih terasa berat, Junaidi tidak ingin menyerah. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Setiap pagi ia tetap bangun, melihat puing-puing reruntuhan rumahnya, dan mengikuti instruksi petugas untuk pemulihan lingkungan.

Di sela kelelahan dan kesedihan, ia masih merawat keinginan untuk bisa memiliki motor kembali, suatu hari nanti.

“Kalau ada rezeki, saya nabung lagi, pelan-pelan. Yang penting sehat,” pungkasnya. (*)

Editor: Ikhsan Mahmudi

Komentar Ditutup! Anda tidak dapat mengirimkan komentar pada artikel ini.