Lumajang, – Ketika Mirza Harnum (27) menggigit awuk-awuk di Pasar Lawas Tempeh Tengah, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang, ia menutup mata sejenak.
Bukan karena rasa camilan berbahan dasar ketan dan kelapa parut itu terlalu manis, tapi karena dalam sekejap, pikirannya melayang jauh. Ke sebuah sore di masa kecil, di beranda rumah nenek, di mana suara ayam, aroma kayu bakar, dan tawa keluarga masih utuh dalam ingatan.
“Rasanya membuat saya pulang ke rumah nenek. Makanan ini menyatukan generasi, dari masa lalu hingga sekarang,” katanya, Minggu (24/8/25).
Di tengah arus modernitas dan dominasi makanan cepat saji, kehadiran Pasar Lawas Tempeh Tengah menjadi oase nostalgia dan ruang pertemuan budaya.
“Lebih dari sekadar pasar kuliner, tempat ini adalah kapsul waktu yang menghidupkan kembali citarasa, suara, bahkan nilai-nilai yang dulu begitu akrab dalam kehidupan masyarakat Jawa,” jelasnya.
Bagi banyak pengunjung Pasar Lawas, seperti Mirza, menyantap makanan seperti awuk-awuk, lupis, cenil, atau dawet bukan soal lapar. Tapi soal rindu.
“Setiap kali bikin lupis, saya ingat ibu saya yang dulu selalu bangun pagi buat ngolah ketan. Sekarang saya jualan bukan cuma cari untung, tapi menjaga rasa, menjaga kenangan,” kata Endah Mei Rini (45), penjual di pasar ini.
Di stan lain, seorang perempuan muda bernama Vindy Yurike (25) tampak sibuk melayani antrean pembeli dawet. Senyum ramah dan baju lurik yang ia kenakan memperlihatkan semangat baru dalam wajah tradisi.
“Dulu makanan kayak gini cuma dianggap camilan desa. Sekarang saya jual dengan bangga. Ini warisan. Harus dilestarikan, bukan dilupakan,” ungkapnya.
Lebih jauh dari sekadar rasa, makanan-makanan ini menyimpan filosofi hidup orang Jawa yang sederhana namun dalam.
Misalnya, jamu yang diminum oleh Anif Setiani (56), bukan hanya minuman herbal, tapi cermin cara hidup: sehat, seimbang, dan bersahabat dengan alam.
“Ini bukan soal pahit atau segar, tapi soal kedekatan kita dengan alam dan tubuh kita sendiri. Kalau jamu hilang, kita kehilangan bagian dari jati diri kita sebagai orang Jawa,” ujarnya.
Pasar Lawas Tempeh Tengah menjadi contoh nyata bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan zaman. Ia tak membenturkan masa lalu dan masa kini, tapi menyatukannya melalui rasa, cerita, dan kebersamaan.
“Kalau bukan kita yang merawat, siapa lagi?. Saya ingin anak-anak saya nanti tahu kalau Indonesia punya rasa yang tak bisa ditemukan di tempat lain,” pungkasnya. (*)
Editor: Ikhsan Mahmudi
Publisher: Keyra